alokasi resiko vs tindakan kepolisian
Dua frasa judul, terasa memang kapan ketemunya. Manajemen resiko menjadikan
praktik alokasi resiko sesuai kesepakatan. Terutama kepada pihak yang paling
mampu mengendalikan risiko. Unik dan
antiknya, alokasi risiko harus dibuktikan dengan ikatan moral tertulis.
Jika ada kejadian atau tindakan yang mengandung resiko, khususnya yang
dapat membahayakan keamanan umum wajib memiliki Surat Izan (Surat Izin adalah
pemyataan tertulis dari pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Kendati sudah mengantongi Surat Izin, belum berarti bebas dari jangkauan, sasaran
tindakan kepolisian. Khususnya jika pelaksanaannya tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Simak PP RI 60 2017, yang dimaksud dengan “tindakan
kepolisian" adalah upaya
paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna
mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat.
Tidak perlu kuatir, ternyata pedoman teknis pengawasan dan tindakan
kepolisian pada kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya diatur
dengan peraturan Kapolri.
Biasanya jika dengan lema ‘alokasi’ terkait dengan dana, anggaran.
Wajar bin nalar, jika polisi sibuk
mengawal penggunaan Surat Izin. Di sisi lain, bukti rekaman “pemufakatan jahat”
yang disiapkan pleh pihak tertentu, lapor polisi. Serta merta polisi sigap main
tindak.
Polisi hadir mendadak ketika ada pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Bertindak
tegas tanpa kompromi. Karena alokasi anggaran untuk mendukung ‘tindakan
kepolisan’ bisa hangus jika tak dipakai. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar