dalil demokrasi nusantara, si gèdhèg lan si anthuk vs pemufakatan jahat
Sejauh iseng, penulis belum secara tak
sengaja melihat rumusan “pemufakatan jahat”. Apa karena masuk ranah ‘penyakit
politik’, efek domino kejahatan politik yang masuk kategori ‘dipelihara oleh
negara’. Sang legislator dan atau usulan pemerintah, sama-sama jaga wibawa.
Sebagian judul, memang diambil dari Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksud niat arti adalah, wong loro kang wis padha
kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.
Makna peribahasa memakai
bahasa Jawa dimaksud, tentu tak ada hubungan dengan pasal, dalil “pemufakatan
jahat”. Beda pada pelaku. Pelakunya bukan person, atau orang sebagai individu. Tingkat
sekongkol sudah sedemikian canggih. Pasal hukum buatan manusia bisa kalah
selangkah. Kejahatan terselubung klas berat, tingkat tinggi yang susah
diungkap.
Disparitas penegakan
hukum. Sesuai UUD NRI 1945 yang baru empat kali mengalami perubahan. Tersurat
dan tersirat, kurang apa wewenang pihak penegak hukum. Apalagi mereka yang
sebagai ujung tombak, berhadapan langsung dengan rakyat.
Episode tragedi
“Cicak vs Buaya” tak bisa dianggap ada dualisme, duplikasi, tumpang tindih atau
adu kuat kewenangan antar penegak hukum. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar