Halaman

Kamis, 20 Juni 2019

dalil demokrasi nusantara, si gèdhèg lan si anthuk vs pemufakatan jahat


dalil demokrasi nusantara, si gèdhèg lan si anthuk vs pemufakatan jahat

Sejauh iseng, penulis belum secara tak sengaja melihat rumusan “pemufakatan jahat”. Apa karena masuk ranah ‘penyakit politik’, efek domino kejahatan politik yang masuk kategori ‘dipelihara oleh negara’. Sang legislator dan atau usulan pemerintah, sama-sama jaga wibawa.

Sebagian judul, memang diambil dari Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksud niat arti adalah,   wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.

Makna peribahasa memakai bahasa Jawa dimaksud, tentu tak ada hubungan dengan pasal, dalil “pemufakatan jahat”. Beda pada pelaku. Pelakunya bukan person, atau orang sebagai individu. Tingkat sekongkol sudah sedemikian canggih. Pasal hukum buatan manusia bisa kalah selangkah. Kejahatan terselubung klas berat, tingkat tinggi yang susah diungkap.

Disparitas penegakan hukum. Sesuai UUD NRI 1945 yang baru empat kali mengalami perubahan. Tersurat dan tersirat, kurang apa wewenang pihak penegak hukum. Apalagi mereka yang sebagai ujung tombak, berhadapan langsung dengan rakyat.

Episode tragedi “Cicak vs Buaya” tak bisa dianggap ada dualisme, duplikasi, tumpang tindih atau adu kuat kewenangan antar penegak hukum. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar