politik tanpa ilmu, yang penting konsisten
Tebak-tebak
buah manggis. Sarjana ilmu politik tidak otomatis menjadi politisi, politikus. Bisa
terjadi selama kuliah aktif di partai politik lokal. Minimal tingkat kecamatan.
Tidak harus mencapai derajat kader partai. Sekedar iseng asah ilmu. Nasib lain
menentukan. Berkat tradisi keluarga, melanjutkan usaha ternak politik.
Demikianlah adanya.
Di negara semaju apapun, namanya politik bisa menjadi hak milik keluarga. Bahkan
soliditas sebuah negara karena stabilitas politik. Nusantara nan hijau,
dukungan dan jamininan multipartai hanya sekedar pemantas dan pemanas pesta
demokrasi. Antusias parpol tidak identik dengan gairah pengguna hak politik
yang berhak memilih saja.
Namanya serba
untung. Parpol ditentukan nama besar pendirinya. Kehidupan ekonomi parpol
diuntungkan berkat dukungan dana oknum pebisnis, pengusaha, pemodal. Sukses di
pilkada, pemuilu legislatif diuntungkan kandidat yang daya elektabiltas,
popularitas menjanjikan.
Beda jauh di
kasus dunia sepak bola, buku tangkis, tenis, tinju. Semua raihan dirintis dari
nol. Statr dari papan bawah. Modal keringat sendiri. Tidak ada kendaraan
politik. Kelebihannya, tak ada batas periode untuk mencapai gelar utama.
Memasuki periode
akhir RPJPN 2005-2025, peta politik nusantara kian memerah. Jaringan ditribusi
liwat semua jalur. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar