Halaman

Kamis, 27 Juni 2019

politik tanpa ilmu, yang penting konsisten


politik tanpa ilmu, yang penting konsisten

Tebak-tebak buah manggis. Sarjana ilmu politik tidak otomatis menjadi politisi, politikus. Bisa terjadi selama kuliah aktif di partai politik lokal. Minimal tingkat kecamatan. Tidak harus mencapai derajat kader partai. Sekedar iseng asah ilmu. Nasib lain menentukan. Berkat tradisi keluarga, melanjutkan usaha ternak politik.

Demikianlah adanya. Di negara semaju apapun, namanya politik bisa menjadi hak milik keluarga. Bahkan soliditas sebuah negara karena stabilitas politik. Nusantara nan hijau, dukungan dan jamininan multipartai hanya sekedar pemantas dan pemanas pesta demokrasi. Antusias parpol tidak identik dengan gairah pengguna hak politik yang berhak memilih saja.

Namanya serba untung. Parpol ditentukan nama besar pendirinya. Kehidupan ekonomi parpol diuntungkan berkat dukungan dana oknum pebisnis, pengusaha, pemodal. Sukses di pilkada, pemuilu legislatif diuntungkan kandidat yang daya elektabiltas, popularitas menjanjikan.

Beda jauh di kasus dunia sepak bola, buku tangkis, tenis, tinju. Semua raihan dirintis dari nol. Statr dari papan bawah. Modal keringat sendiri. Tidak ada kendaraan politik. Kelebihannya, tak ada batas periode untuk mencapai gelar utama.

Memasuki periode akhir RPJPN 2005-2025, peta politik nusantara kian memerah. Jaringan ditribusi liwat semua jalur. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar