praktik demokrasi nusantara, karena kenal kian megatega
menjegal, menjagal
Prakiraan bahwasanya ramuan ajaib revolusi mental memang manjur binti
mujarab. Ampuh bin cespleng. Lintas gender dan tak pandang warna bulu. Terbukti
muncul bibit unggul peolok-olok politik. Zonasi pendidikan dasar dan menengah
unggulan, favorit, bahkan sampai zonasi pendidikan tinggi negeri klas
semiglobal. Tak ada beda dengan produk lokal domestik klas kampung. Mirip oplosan
miras klas desa pinggiran.
Stratifikasi, stratafikasi peolok-peolok politik dengan kesuriteladanan
sang petugas partai 2014-2019. Didukung daya penabur dan penebar aksi
provokasi, pengganda propaganda, basa-basi promosi penguasa. Media massa dengan
anak perusahaannya, menjadi biang onar. Hitung cepat sebaran benih penyaki
politik identik dengan peta geopolitik.
Lagu lawas teranyarkan, kalau sudah duduk lupa berdiri. Bukan hanya itu,
kalau sudah main politik, lupa pasal moral. Norma sosial yang paling mendasar
saja terlalaikan secara hitoris. Akhlak reliji sudah lama tercerabut. Atau ada
dorongan dari bawah untuk berbalas budi, berutang budi. Terpapar, terkontaminasi efek domino lokasi pasar bebas,
jalur tol udara ideologi makro.
Tak sengaja, begitu masuk bedah ‘budi’. Kiranya daripada itu, terjadilah
modul loyalitas buta, total jenderal abal-abal. Sebagai bahan ajar pendidikan
politik praktis. Isian indoktrinasi versi reformasi.
Pasal yang pernah digunakan sejak zaman penjajahan, difungsikan secara
seksama. Improvisasi berbasis balas jasa, balas budi sekaligus balas dendam
mejadi menu nyata.
Tercatat dalam ingatan. Politik hantam kromo. Politik pilih rangkul atau pilih
dengkul. Politik gebuk duluan, rembuk belakangan. Politik libas sebelum tunas. Politik
menjilat sekaligus menghujat. Politik kursi ora kenal konco.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar