Halaman

Sabtu, 22 Juni 2019

praktik demokrasi nusantara, karena kenal kian megatega menjegal, menjagal


praktik demokrasi nusantara, karena kenal kian megatega menjegal, menjagal

Prakiraan bahwasanya ramuan ajaib revolusi mental memang manjur binti mujarab. Ampuh bin cespleng. Lintas gender dan tak pandang warna bulu. Terbukti muncul bibit unggul peolok-olok politik. Zonasi pendidikan dasar dan menengah unggulan, favorit, bahkan sampai zonasi pendidikan tinggi negeri klas semiglobal. Tak ada beda dengan produk lokal domestik klas kampung. Mirip oplosan miras klas desa pinggiran.

Stratifikasi, stratafikasi peolok-peolok politik dengan kesuriteladanan sang petugas partai 2014-2019. Didukung daya penabur dan penebar aksi provokasi, pengganda propaganda, basa-basi promosi penguasa. Media massa dengan anak perusahaannya, menjadi biang onar. Hitung cepat sebaran benih penyaki politik identik dengan peta geopolitik.

Lagu lawas teranyarkan, kalau sudah duduk lupa berdiri. Bukan hanya itu, kalau sudah main politik, lupa pasal moral. Norma sosial yang paling mendasar saja terlalaikan secara hitoris. Akhlak reliji sudah lama tercerabut. Atau ada dorongan dari bawah untuk berbalas budi, berutang budi.  Terpapar,  terkontaminasi efek domino lokasi pasar bebas, jalur  tol udara ideologi makro.

Tak sengaja, begitu masuk bedah ‘budi’. Kiranya daripada itu, terjadilah modul loyalitas buta, total jenderal abal-abal. Sebagai bahan ajar pendidikan politik praktis. Isian indoktrinasi versi reformasi.

Pasal yang pernah digunakan sejak zaman penjajahan, difungsikan secara seksama. Improvisasi berbasis balas jasa, balas budi sekaligus balas dendam mejadi menu nyata.   

Tercatat dalam ingatan. Politik hantam kromo. Politik pilih rangkul atau pilih dengkul. Politik gebuk duluan, rembuk belakangan. Politik libas sebelum tunas. Politik menjilat sekaligus menghujat. Politik kursi ora kenal konco.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar