Halaman

Rabu, 26 Juni 2019

Efektivitas Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat


Efektivitas Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

TUGAS KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
Pembangunan infrastruktur nasional merupakan salah satu agenda prioritas pemerintah Indonesia, karena sejumlah kondisi, seperti (a) terbatasnya keberadaan dan kualitas infrastruktur, (b) tingginya biaya logistik, produksi, dan distribusi, (c) timpangnya infrastruktur antar wilayah, (d) terhambatnya program pengentasan kemiskinan, (e) terhambatnya kelancaran distribusi pangan, serta (f) perlunya mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara lain.

Arah kebijakan pembangunan infrastruktur pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 secara umum adalah untuk mewujudkan infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang handal dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, ketahanan air, kedaulatan energi, konektivitas bagi penguatan daya saing, dan layanan infrastruktur dasar melalui keterpaduan dan keseimbangan pembangunan antardaerah, antar sektor dan antar tingkat pemerintahan yang didukung dengan industri konstruksi nasional yang berkualitas dan sumber daya organisasi yang kompeten dan akuntabel.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

LINGKUP EFEKTIVITAS
Menimbang hakikat efektivitas pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), paling tidak  untuk memberikan informasi hasil akhir berdasarkan input yang sudah diberikan.

Dari output pembangunan infrastruktur PUPR terbangun diharapkan tercapai outcome yang berkelanjutan, berpengaruh langsung, memiliki kontribusi besar untuk mewujudkan pemenuhan hak dasar rakyat, pelayanan infrastruktur dasar, mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan daya saing global. Termasuk mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi wilayah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah. Serta yang tak kalah penting adalah dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Pencapaian outcome perlu disandingkan dengan Standar Internasional atau dibandingkan dengan negara lain yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tidak beda jauh. Minimal, bahan perbandingan berdasarkan daya saing infrastruktur Indonesia di tingkat ASEAN.

Dukungan dan jaminan anggaran pembangunan, alternatif sumber dana, skema pembiayaan; kebijakan (keterpaduan infrastruktur wilayah pengembangan strategis maupun percepatan penyediaan infrastrukur prioritas),  menjadi modal kuat bagi terlaksananya pembangunan untuk tepat biaya-waktu-kualitas, tepat sasaran, tepat manfaat dan fungsional. Sehingga tolok ukur keberhasilan tidak sekedar pada indeks kepuasan penerima manfaat.

Pada dasarnya makna efektivitas adalah tingkat keberhasilan pemenuhan kebutuhan akan infrastruktur PUPR oleh penerima manfaat. Mulai dari individu dan atau keluarga, rumah tangga manusia Indonesia dengan kapasitas sebagai rakyat, penduduk, warga negara, masyarakat, sampai tingkat daerah.

Efektivitas infrastruktur PUPR bagi rakyat, penduduk, warga negara, masyarakat dimulai dengan menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.

Efektivitas infrastruktur PUPR bagi daerah provinsi maupun daerah kabupaten / kota. Kementerian PUPR  hanya fokus pada transportasi darat (jalan dan jembatan), air (bendungan, air bersih, banjir, irigasi) dan perumahan. Infrastruktur  lainnya dikerjakan Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan, dan untuk memudahkan Indonesia dibagi ke dalam 35 kawasan. Dimaksudkan untuk menghilangkan disparitas antar wilayah sehingga pembangunan tidak hanya berpusat di Jawa dan Sumatra, tetapi harus lebih keluar.

FAKTOR PENENTU EFEKTIVITAS
Dalam rangka memaksimalkan manfaat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak 1 Januari 2016, di sektor konstruksi diperlukan evaluasi secara komprehensif dari pemangku kepentingan nasional yang diwakili oleh akademisi, pelaku usaha, pemerintah dan swasta. MEA menandai terbentuknya pasar tunggal ASEAN di bidang investasi, barang dan jasa termasuk tenaga kerja.

Dalam perspektif pemerintah (government), evaluasi yang perlu dibahas adalah sudah seberapa efektif pengaturan domestik (domestic regulations) untuk menciptakan iklim investasi, iklim usaha, iklim kerja dan iklim permodalan yang kondusif dan nyaman bagi terbentuknya Indonesia sebagai kawasan produksi (pembangunan infrastruktur) yang berdaya saing tinggi.

Pemerintah akan menerapkan lima langkah guna mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia agar layanan dan daya saing sektor ini terus meningkat. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono mengatakan, lima strategi itu adalah (i) kerangka hukum dan perundangan yang kondusif; (ii) inovasi pembiayaan dan pendanaan pembangunan infrastruktur; (iii) kepemimpinan yang kuat; (iv) koordinasi antar lembaga yang solid; (v) serta penerapan hasil penelitian dan teknologi terbaru.

Pemerintah merasa resah jika kebijakan anggaran belanja yang dilakukan tidak berdasarkan money follow function, tetapi money follow program prioritas, tetapi praktiknya tetap money follow function. Tidak perlu semua tugas dan fungsi (tusi) harus dibiayai secara merata.

Daya saing infrastruktur Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Singapura atau Malaysia. Namun, Indonesia lebih baik dari Vietnam maupun Filipina. Wilayah yang berbentuk kepulauan dengan luas 5,1 juta km persegi dan terbentang dari Sabang sampai Merauke menjadi tantangan bagi pemerintah untuk meningkatkan daya saing infrastruktur nasional.

Dalam laporan The Global Competitiveness Report 2018 skor pilar infrastruktur Indonesia berada di level 66,8 dari skala 0-100 dan berada di peringkat 71 dari 140 negara yang disurvei. Di tingkat ASEAN, Indonesia berada di posisi ke 5 di bawah Thailand dan di atas Vietnam. Skor daya saing infrastruktur Indonesia tersebut terpaut 28,88 poin dari Singapura yang merupakan negara dengan peringkat daya saing tertinggi di AsiaTenggara maupun di tingkat global.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala telah berupaya memperbaiki daya saing Indonesia dengan meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur sejak 2015 menjadi Rp 256,1 triliun, naik 65% dari tahun sebelumnya. Anggaran infrastruktur terus meningkat menjadi Rp 410,4 triliun pada 2018. Untuk tahun 2019, pemerintah menganggarkan dana Rp 415 triliun untuk pembangunan infrastruktur.

Peringkat daya saing Indonesia menurut International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking 2019 membaik. Indonesia melejit ke posisi 32 dunia atau naik 11 peringkat dibandingkan 2018 yang berada di posisi ke-43 dunia. IMD menggunakan 4 (empat) indikator utama dalam penilaiannya, yakni kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.

Indonesia menunjukkan perbaikan daya saing yang paling menggembirakan di kawasan Asia Pasifik. Hal ini berkat perbaikan efisiensi di sektor pemerintahan, pembangunan infrastruktur, dan iklim bisnis. IMD juga menyebut salah satu keunggulan Indonesia adalah upah buruh yang rendah dibandingkan 63 negara lainnya di Asia Pasifik. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada berada di bawah Jepang dan Prancis yang berada di posisi ke-30 dan ke-31. Adapun Republik Ceko dan Kazakhstan berada di bawah Indonesia, masing-masing di posisi ke-33 dan ke-34.

Pada tahun 2019, pembangunan infrastruktur PUPR diprioritaskan pada kegiatan yang berbentuk:
1.        Pelaksanaan pekerjaan yang telah committed,
2.        Pembangunan bendungan baru, menyelesaikan pembangunan bendungan lanjutan dan irigasi,
3.        Pembangunan konektivitas antar wilayah, kawasan perbatasan Kalimantan dan NTT, Jalan Trans Papua,
4.        Pembangunan Program Kerakyatan (P3-TGAI (Program Percepatan  peningkatan Tata Guna Air Irigasi), jembatan gantung, KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh), PISEW (Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah), PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitas Berbasis Masyarakat), SANIMAS (Sanitas Berbasis Masyarakat), TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse & Recycle)),
5.        Pembangunan dan perbaikan, serta pemenuhan kebutuhan infrastruktur permukiman dan perumahan,
6.        Pembangunan berbasis kawasan strategis.

PERMASALAHAN
Permasalahannya antara lain pada kasus infrastruktur jalan tol, bersifat komersial atau mencari keuntungan. Secara teoritis, suatu kegiatan pembangunan yang bersifat komersial walaupun dilakukan dan dimiliki oleh perusahaan negara, tidak dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum karena tidak adil, dimana masyarakat dipaksa untuk menyerahkan tanah mereka dan kemudian perusahaan negara memperoleh keuntungan dari tanah tersebut.

Namun hal tersebut sudah secara tegas dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012 bahwa pembangunan infrastruktur adalah bukan proyek untung rugi bagi pemerintah, tetapi adalah kewajiban pemerintah untuk mengatasi masalah perekonomian untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat. Tanah untuk kepentingan umum tersebut jelas untuk pembangunan infrastruktur yang proyeknya bukan untuk kepentingan bisnis untung rugi individu ataupun instansi. Pemerintah juga tidak menghitung untung-rugi dari segi komersil karena jalan tol mutlak perlu untuk memecahkan masalah kelancaran transportasi. Namun tentu saja pihak investor yang membiayai jalan tol menghitung untung rugi bahkan meminta jaminan pemerintah, sebab proyek jalan tol tersebut tidak merugikan mereka. Tidak ada kalangan bisnis yang mau kehilangan uang mereka, ini adalah hukum ekonomi.

Dari sisi pendanaan, saat ini alokasi anggaran infrastruktur dalam postur APBN masih di bawah standar yang ditetapkan. Alokasi anggaran infrastruktur dewasa ini baru mencapai kurang lebih 2 persen terhadap PDB, sedangkan idealnya, menurut Asian Development Bank (ADB), anggaran pembangunan infrastruktur di Indonesia minimal 5 persen dari PDB.

Bersambung maupun bersumbang . . . [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar