waspadai, lanjutan krisis bibit unggul pemimpin bangsa
Praktik politik di nusantara, didominasi gaya politik abangan. Akibat
kutukan politik ‘nasakom’ peninggalan Orde Lama. Diperkuat dengan modus
pengusaha multinasional yang mampu menentukan platform politik penguasa tunggal Orde Baru, Soeharto
dalam mengatur sirkulasi gerakan Islam.
Secara ideologis, kian melek politik anak bangsa pribumi nusantara,
berbanding lurus dengan laju gagal paham. Sistem feodal mendasari praktik
sebuah partai politik. Siapa penyandang gelar “panglima ekonomi”, akan
menentukan nasib bangsa.
Reformasi politik akan memacu dan
memicu daya guna titik awal, dasar, pondasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan partai politik di akar rumput.
Tempat persemaian dan cikal bakal bibit unggul. Melalui pemberian kepastian hak
politik dan akses atas perpolitikan secara kolektif.
Hak politik selama ini hanya berupa menggunakan hak pilih pada saat pesta
demokrasi.
Pemimpin itu dilahirkan dari sejarah. Dibangun dari akar rumput. Bukan
dicetak di atas, tinggal butuh dukungan suara. Bukan model top down. Bukan model dukun tiban.
Agar tak keblusuk ke pemikiran tanpa perlu mikir. Simak “Menoleh ke Jangka
Jayabaya dan Sastra”, fokus pada ujaran tersurat:
Polahé wong Jawi kadya gabah dén interi. Endi sing bener endi sing sejati.
Poro topo ora wani podho wedi anularaké wewulang edhi margo salah-salah nemu
pati.
Jadi, tunggu apalagi Bung! [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar