rakyat lapang dada vs penguasa tepuk dada
Serba dada. Pilhan
menu rakyat di warung nasi. Bersaing dengan lauk rakyat bernama tahu, tempe. Bisa
diolah dengan aneka bumbu dan cita rasa. Tampil di hidangan kenduri slametan
sampai jamuan non-rakyat.
Rakyat di zaman
Orde Baru terlatih dengan kencangkan ikat pinggang. Mempraktikkan pola hidup
sederhana secara total, nasional, massal dan berkelanjutan. Lanjut dengan himbauan
agar pejabat negara jangan rapat di hotel.
Sebagai negara
berkembang dengan dasar negara Pancasila. Apapun bisa dikembangkan asal sesuai
tarifnya. Ambang bawah yang menjadikan daya saing nusantara berkibar.
Perkembangan peradaban
pada masa Orde Baru terdapat dikotomis yang jelas kentara antara etnis asli
Indonesia dengan etnis pendatang. Untuk mencirikan bahwa pihak yang anti
tentara utawa angkatan darat, dari pihak anak cucu ideologis PKI.
Tanpa diskenario,
atau memang skenario terselubung. Berkembanglah isu terminologi dikotomis yang menjadi
pasal terseniri. Yang dimaksud adalah sebutan “pribumi” dan predikat “non-pribumi”.
Awal reformasi untuk menjaga wibawa penguasa agar
tak cepat basi, ambil langkah politis dengan
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian
Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi.
Beda halnya
dengan tahun politik 2018 dan 2019, muncul peolok-olok politik. Seolah melanjutkan
tradisi gaya politik ‘kiri merah’.
Tak ada
hubungan diplomatis dengan penggunaan sebuatn anak bangsa pribumi nusantara
Jangan lupa
tapi boleh tak diingat. Bahwasanya, karena politik menjadikan angkatan dan atau
polisi menjadi “musuh rakyat” atau loyalis total jenderal penguasa, sahabat
pejabat. Tuturan sejarah sebagai saksi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar