Halaman

Jumat, 28 Juni 2019

rakyat lapang dada vs penguasa tepuk dada

rakyat lapang dada vs penguasa tepuk dada

Serba dada. Pilhan menu rakyat di warung nasi. Bersaing dengan lauk rakyat bernama tahu, tempe. Bisa diolah dengan aneka bumbu dan cita rasa. Tampil di hidangan kenduri slametan sampai jamuan non-rakyat.

Rakyat di zaman Orde Baru terlatih dengan kencangkan ikat pinggang. Mempraktikkan pola hidup sederhana secara total, nasional, massal dan berkelanjutan. Lanjut dengan himbauan agar pejabat negara jangan rapat di hotel.

Sebagai negara berkembang dengan dasar negara Pancasila. Apapun bisa dikembangkan asal sesuai tarifnya. Ambang bawah yang menjadikan daya saing nusantara berkibar.

Perkembangan peradaban pada masa Orde Baru terdapat dikotomis yang jelas kentara antara etnis asli Indonesia dengan etnis pendatang. Untuk mencirikan bahwa pihak yang anti tentara utawa angkatan darat, dari pihak anak cucu ideologis PKI.

Tanpa diskenario, atau memang skenario terselubung. Berkembanglah isu terminologi dikotomis yang menjadi pasal terseniri. Yang dimaksud adalah sebutan “pribumi” dan predikat “non-pribumi”.

Awal  reformasi untuk menjaga wibawa penguasa agar tak cepat basi, ambil  langkah politis dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi.

Beda halnya dengan tahun politik 2018 dan 2019, muncul peolok-olok politik. Seolah melanjutkan tradisi gaya politik ‘kiri merah’.

Tak ada hubungan diplomatis dengan penggunaan sebuatn anak bangsa pribumi nusantara

Jangan lupa tapi boleh tak diingat. Bahwasanya, karena politik menjadikan angkatan dan atau polisi menjadi “musuh rakyat” atau loyalis total jenderal penguasa, sahabat pejabat. Tuturan sejarah sebagai saksi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar