Halaman

Selasa, 11 Juni 2019

olah kata dan sisi lain karya sastra


olah kata dan sisi lain karya sastra

Menulis, bertata kalimat, olah kata merupakan berbahasa tulis. Antara ujaran, tutur kata lisan dengan bahasa tulis, terdapat perbedaan yang mendasar. Orang paling binggung membuat percakapan disajikan secara tertulis. Apalagi bahasa bayi dengan riangnya ‘bercerita’.

Sebagai ajang temu penulis dengan pemirsa. Mengarahkan pengolah kata tidak sekedar bijak. Sekaligus berstrategi kesantunan bermanfaat timbal balik. Tidak harus berdaya tarik bak pariwara. Bukan ajang promo walau memang sedang jualan tulisan.

Mencuplik bebas ungkapan Jawa: “ajining dhiri gumantung ing lathi”.  Maksudnya, bahwa harga diri seseorang itu tergantung dari apa yang dia katakan.  Gamblangnya, orang akan dihargai karena tindak tutur kata, ucapan, ujaran  yang benar, baik. Konsekuen yaitu satunya kata dan perbuatan.

Apalagi dengan aksi olah kata. Bukti tertulis. Kendati saat dicetak ulang bisa dimodifikasi. Untuk berbahasa dengan benar, baik, bagus perlu dukungan ‘kata hati’.  Tepatnya, bertindak jujur dengan cara cerdas, diplomatis. Terkesan cari aman, damai untuk menyuarakan isi hati. Atau menterjemahkan fakta sejarah sesuai kemampua diri, posisi diri.

Agar sesuai kata kunci judul. Dalih bahwa jagad sastra beranjak dari bukan bahasa sehari-hari.  Peradaban  mempengaruhi susunan lapisan budaya. Bahasa harian kian dinamis, berlapis. Sehingga karya sastra merupakan suatu keterpaduan komposisi sistem produksi zaman. Terutama akibat kemajuan TIK.

Kian bernas jika kita meluangkan waktu. Simak syair tembang Jawa: ”saben wong lumrahé gelem dibeciki, nanging ora saben wong gelem nandur kabecikan”. Maksud sederhanya, bahwa setiap orang umumnya mau menerima kebaikan, tetapi tidak setiap orang mau berbuat baik.

Makna kultural, religi, kiranya orang dan atau manusia gemar membaca karya tulis yang juga karya sastra. Kandungan kadar bahasa yang benar, baik, bagus enak disimak. Mata dan kata hati mudah mencerna. Tapi untuk berhal, berbuat yang sama, merasa serba merasa.

Pernah pengolah kata memakai asas othak-athik gathuk, gothak-gathuk manthuk.

Mengoplos, mengkanibalkan istilah disiplin ilmu tertentu menjadi kalimat umum. Agar tampak ilmiah, biar dikira karya akademis. Membolak-balik peribahasa dalam khazanah bahasa Jawa,  yang tetap enak disantap  di mata.

Peribahasa dalam bahasa Jawa meliputi pribasa, bebasan, saloka, sanepa. dan pepindhan yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar