politisi nusantara, semakin dibelai kian terkulai
Wajar bin masuk
nalar. Faktor tekun, ulet, tabah dan sabar menjadi penentu kesuksesan. Ada peribahasa
yang membuktikan betapa ikhtiar, upaya yang menerus dipastikan akan ada hasil. Soal
nasib, faktor bawaan, gen sial memang tak bisa dipungkiri.
Semula dianggap
tidak ada apa-apanya. Tahu-tahu nasib bercerita lain. Entah muncul dari mana. Bahkan
di tanah kelahirannya, jati diri dan eksistensinya tak dikenal. Malah ketika
adu nasib di negeri orang, mendadak kinclong. Modal pandai-pandai menyiasati kesempatan.
Mematut diri agar tampak. Biar miskin asal gaya. Jangan merasa bodoh jika masih
suka santap nasi.
Jangan minder
walau hanya bersandal jepit. Karena bentuk kebodohan yang dilakukan berulang
akhirnya menjadi bukti diri. Sedikit bodoh asal rajin, rutin bergaul akhirnya
bisa menjadi lebih bodoh. Bodoh kok dipelihara, kata banyolan wong Jawa.
Warna kulit
yang tampak tak bersahabat dengan paparan sinar matahari, malah didaulat
sebagai manusia politik tulen. Ybs lebih banyak merenungi nasib diri. Bukan iseng
kalau merasa lebih nyaman di ketiak bangsa asing. Penguasa saja mampu
menghadirkan garam asing di dapur keluarga rakyat jelata.
Akhirnya,
banyak yang merasa “asing” di negeri sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar