akar rumput, lokasi bahan
galian sila persatuan Indonesia
Bagaimana sosok rakyat diilustrasikan, digambarkan,
divisualkan, dirpofilkan atau dengan model infografis, ternyata sangat dinamis
dan tak bisa distandarisir, dibakukan. Tidak halnya di tangan dingin manusia
politik. Kreativitas ambisi partai,
nasib rakyat menjadi komoditas politik.
Partai politik yang mengatasnamakan wong cilik, kian
tepuk dada jika keluar sebagai juara umum pemilu wakil rakyat. Bukti diri
memang layak bertakhta di atas derita rakyat. Karakter rakyat diperhitungkan
dengan jeli, cermat dan berperhitungan.
Ramah lingkungan etnis Sunda yang menghasilkan pasal
dilepas di kebun bisa hidup. Beda pasal dengan sigap jiwa suku bangsa Madura. Gaya
ramah dibuktikan tak mudah marah. Anti gores alias anti singgung sedemkian
proaktif. Sebelum manusia Madura marah atau tersinggung, si calon biang kerok
sudah terkapar, tersabet celurit.
Rekam medis wong Jawa jelas tak bisa dibandingkan,
disandingkan, ditandingkan. Betapa tanggap darurat. Cuma satu orang yang memuja
plus memuji, langsung ukuran lingkar kepala dan busung dada bertambah. Kian disanjung
kian merasa harga diri membubung.
Tanpa batas etnis, lepas dari kedudukan teritorial
hunian. Rangkaian budaya manusia nusantara yang sarat adat dan menempatkan
adab. Secara horizontal menjadi perekat, pemersatu.
Ketika manusia Jawa ditegakkan, terutama oknum yang
merasa serba bisa. Peribahasa bahasa Jawa, “Baladéwa
ilang gapité”, membuktikan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar