politik harga gelap vs ideologi bongkar pasang
Kalau mau tahu apa dan bagaimana bentukan sebuah parpol. Jangan berdasarkan
pernah berapa kali ikut pemilu. Atau bahkan pernahkah kagernya jadi kepala
negara. Jaminan mutu justru pada siapa saja yang jadi pengurus.
Latar belakang pengurus partai di tingkat paling dasar, semisal
desa/kelurahan. Sesuai tingkat pemerintahan paling bawah. Ingat dengan massa
mengambang Golkar zaman Orde Baru.
Paling runyam, ada lapisan penduduk yang bias politik. Serba tanggung. Bukan
ke mana saja bisa. Tapi seolah-olah tak bisa ke mana-mana. Bukan tanpa daya dan
atau tanpa pilihan. Tepatnya, nasib yang bicara.
Sulit dilacak. Jabatan karir apa di tubuh partai yang bisa dicapai, diraih
kader mulai dari bawah. Apakah berhasil membuka cabang di tingkat desa/kelurahan.
Sebagai pelengkap penderita, sehingga parpol ybs memenuhi syarat sebaran di
NKRI bisa ikut pemilu.
Terlebih jika ada parpol yang berbasis organisasi kemasyarakatan. Umunya,
parpol mempunyai anak perusahaan atau membuka cabang di lahan tidur. Kalkulasi politik
paling mendasar adalah mencari lokasi tambang suara.
Olok-olok politik membuktikan ada lokasi atau lapisan dan atau komunitas
penduduk yang daya politiknya angin-anginan. Bukan didominasi kalangan uneducated people. Mereka
justru dari generasi, kalangan akademik yang kecewa dengan idolanya.
Artinya, waktu baru, gres tenan memang menjanjikan. Apalagi ‘barang baru’.
Namun apa lacur. Langkah pertama bagaimana ”yang terpilih mayoritas” pilah
kawan gaul, pilih teman begadang, tunjuk mitra belanja, angkat angkatan sampai
lantik tangan kanan. Langsung ketahuan belangnya.
Akhirnya, tahun demi tahun ditunggu. Masih belum merasa. Lanjut ke babak
selanjutnya. Kalau belum babak belur, belum kapok. Kalau belum babak bundas,
belum tuntas rasa puas. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar