bara revolusi mental sigap libas lawan politik
Wajar bin nalar, ambisi manusia politik lokal, yaitu besar
harapan akan kembalinya eksistensi masa lalu sebagai komponen utama masa kini. Eksistensi,
jati diri sebagai trah, sisilah keluarga politik akan mempertaruhkan martabat
bangsa.
Moral ini muncul pada kawanan
politisi sipil maupun angkatan yang balik nama. Merasakan kursi petinggi negara
sebagai ikhwal – tepatnya pasal nikmat
dunia – yang wajib dilestarikan. Suprémasi atau kekuasaan tertinggi (teratas)
di bidang politik, dibuktikan sebagai penguasa tunggal. Disederhanakan dalam bentuk
jabatan kepala daerah dan terlebih jabatan kepala negara.
Karena kursi penguasa hanya
sepasang, maka diusahakan jabatan wakil rakyat sebagai jabatan politik. Diimbangi
dengan utusan daerah atau pakai sebutan perwakilan daerah. Agar terlihat ada pemerataan
atau praktik demokrasi. Kompleksitas jabatan politik tadi karena kian jauh dari
bukti kinerja terwujudnya penduduk sejahtera.
Di balik kisah sukses pemilu
serentak, rabu 17 April 2019, bukannya tak meninggalkan bom waktu. Bahkan
menambah PR besar bangsa.
Setiap pergantian pemimpin
nasional, rakyat menyambut sukacita.
Artinya, waktu masih baru dan
hangat, sebagai muka baru, pendatang baru, gres tenan memang serba menjanjikan. Apalagi ‘barang baru’. Namun
apa lacur. Langkah pertama bagaimana ”yang terpilih mayoritas” pilah kawan
gaul, pilih teman begadang, tunjuk mitra belanja, angkat angkatan sampai lantik
tangan kanan. Langsung ketahuan belangnya.
Rakyat langsung kuciwa berat. Kembali
ke posisi semula. Lupakan hak politik. Bebas utang budi. Tetap kirim doa bagi
keutuhan bangsa.
Akhirnya, tahun demi tahun
ditunggu. Masih belum merasa. Lanjut ke babak selanjutnya. Kalau belum babak
belur, belum kapok. Kalau belum babak bundhas, belum tuntas rasa puas. Main kuras,
main peras, embat sampai licin tandas, agar biaya politik impas. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar