Halaman

Jumat, 28 Juni 2019

anak wayang nusantara, Semar mendem vs serdadu mendem


anak wayang nusantara, Semar mendem vs serdadu mendem

Betul Lepas dari makna, apa yang dimaksud dengan lema ‘mendem’ menurut lidah wong Jawa. Silahkan buka kamus dimaksud. Cuplikan, cuwilan uyon-uyon Jawa, “Peto-peto petak, peto-peto jemblem. Semar mikul kotak, serdadu mikul meriem”.

Zaman sekarang. Perang sudah jarang pakai meriam, kata pengamat karhutla. Dimodifikasi menjadi meriam air, kanon air. Manfaat utama sebagai alat pembasmi kawanan pendemo, pengusir barisan unjuk raga dan unjuk rasa. Jadi keblusuk ke kapling tetangga.

Peribahasa bahasa Jawa, diujarkan menjadi “mikul dhuwur mendem jero”. Niat peribahasa untuk menyiratkan bahwa seorang anak harus memuliakan orang tua, yaitu menjunjung kehormatannya dan merahasiakan kejelekannya. Oleh karena itu, nama baik keluarga bagaimana pun juga harus dijaga sehingga tidak perlu mengungkit-ungkit kelemahan orang tua.

Makanya, jika ada anak bangsa pribumi nusantara yang merasa sebagai anak cucu ideologis. Merasa sebagai pewaris tunggal penguasa negara. Wajar binti masuk nalar.

Agar pemirsa tambah satu porsi. Ada menu “mendem pari jero”. Tak lain tak salah sangka, memang maksudnya orang yang mengamalkan kebaikan tanpa mengharapkan imbaian. Mengamalkan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan adalah perilaku yang baik karena sepi ing pamrih ramé ing gawé.

Masalah gender bukan sekedar beda jenis kelamin. Yang mana daripada itu, kaum adam dan kaum hawa, berbeda kalau memahami  sapikul sagendhongan”. Lazim kalau postur dan tenaga pria untuk memikul, memanggul dan lentur tubuh wanita menggendong, mengemban. Dalil banding  ini deskripsi beda menjadi terurai. Kembali ke alam kodratnya sebagai pria dan wanita.

Jangan salah ingat, Mengangguknya wong Jawa, mantuk-mantuk, bukan karena dong atau setuju.  Sudah ada niat cita-cita lain yang rasanya lebih ampuh, manjur, lebih mulia. Jadi, bebasan, paribasan “sapikul sagéndhongan” berarti, diartikan mengacu kepada situasi pembagian warisan yang tidak sama, pembagian barang yang tidak sama,  karena mengikuti hukum adat. Anak laki-laki mendapat bagian satu pikul dan anak perempuan memperoleh bagian satu géndhongan.

Isbat peribahasa yang isinya menyangkut "ilmu tua atau kebatinan" yang berupa kalirnat perintah, misalnya: “yen krasa enak uwisana, yen krasa ora enak terusna”. Kalau merasa enak sudahilah kalau merasa tidak enak teruskan 'Hendaknya kita dapat berprihatin, mengendalikan hawa nafsu.•Tak ada sangkut paut dengan periode kedua penguasa petugas partai. Karena hanya berlaku untuk wong Jawa. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar