anak wayang nusantara, Semar mendem vs serdadu mendem
Betul Lepas
dari makna, apa yang dimaksud dengan lema ‘mendem’ menurut lidah wong
Jawa. Silahkan buka kamus dimaksud. Cuplikan, cuwilan uyon-uyon Jawa, “Peto-peto petak, peto-peto jemblem. Semar mikul
kotak, serdadu mikul meriem”.
Zaman sekarang.
Perang sudah jarang pakai meriam, kata pengamat karhutla. Dimodifikasi menjadi
meriam air, kanon air. Manfaat utama sebagai alat pembasmi kawanan pendemo, pengusir
barisan unjuk raga dan unjuk rasa. Jadi keblusuk ke kapling tetangga.
Peribahasa bahasa
Jawa, diujarkan menjadi “mikul dhuwur mendem jero”. Niat peribahasa
untuk menyiratkan bahwa seorang anak harus memuliakan orang tua, yaitu
menjunjung kehormatannya dan merahasiakan kejelekannya. Oleh karena itu, nama
baik keluarga bagaimana pun juga harus dijaga sehingga tidak perlu mengungkit-ungkit
kelemahan orang tua.
Makanya, jika ada
anak bangsa pribumi nusantara yang merasa sebagai anak cucu ideologis. Merasa
sebagai pewaris tunggal penguasa negara. Wajar binti masuk nalar.
Agar pemirsa
tambah satu porsi. Ada menu “mendem pari jero”. Tak lain tak salah sangka,
memang maksudnya orang yang mengamalkan kebaikan tanpa mengharapkan imbaian. Mengamalkan
kebaikan tanpa mengharapkan imbalan adalah perilaku yang baik karena sepi ing pamrih ramé ing gawé.
Masalah gender
bukan sekedar beda jenis kelamin. Yang mana daripada itu, kaum adam dan kaum
hawa, berbeda kalau memahami “sapikul sagendhongan”. Lazim kalau postur dan tenaga pria untuk memikul, memanggul dan lentur
tubuh wanita menggendong, mengemban. Dalil banding ini
deskripsi beda menjadi terurai. Kembali ke alam kodratnya sebagai pria dan
wanita.
Jangan salah
ingat, Mengangguknya wong Jawa, mantuk-mantuk, bukan karena dong atau setuju. Sudah ada niat cita-cita lain yang rasanya
lebih ampuh,
manjur, lebih mulia. Jadi, bebasan, paribasan “sapikul sagéndhongan” berarti, diartikan mengacu kepada situasi pembagian warisan yang tidak
sama, pembagian barang yang tidak sama, karena mengikuti hukum adat. Anak laki-laki mendapat
bagian satu pikul dan anak perempuan memperoleh bagian satu géndhongan.
Isbat
peribahasa yang isinya menyangkut "ilmu tua atau kebatinan" yang
berupa kalirnat perintah, misalnya: “yen krasa enak uwisana, yen krasa ora enak terusna”. Kalau merasa enak sudahilah kalau merasa tidak enak teruskan 'Hendaknya
kita dapat berprihatin, mengendalikan hawa nafsu.•Tak ada sangkut paut dengan
periode kedua penguasa petugas partai. Karena hanya berlaku untuk wong Jawa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar