si gèdhèg lan si anthuk
Pesan utama Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kabinet
Terbatas tentang Reforma Agraria pada 24 Agustus 2016 adalah bahwa di pedesaan,
masalah kemiskinan, ketimpangan dan sulitnya lapangan pekerjaan adalah problem pokok
dan mendasar yang dihadapi masyarakat. Untuk itu, Presiden menyatakan bahwa
reforma agraria yang digulirkan Pemerintah kali ini berupaya untuk mengatasi
ketiga masalah tersebut.
Selama ini, kepemilikan tanah di kalangan
petani gurem dan buruh tani menjadi akar persoalan yang melahirkan lingkaran
kemiskinan baru. Kelompok masyarakat ini, lantaran ketiadaan lahan, dipaksa
oleh keadaan untuk lari ke kota, sementara keterampilan yang mereka miliki
tidak cukup sebagai bekal mencari penghidupan di perkotaan.
Presiden Jokowi memerintahkan untuk segera mempercepat
program reforma agraria ini, dengan fokus redistribusi lahan pada buruh tani
yang tidak memiliki lahan dan petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,3
hektar. “Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasan
tanah, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah wilayah dan sumber daya
alam,” demikian arahan Presiden.
Setelah Rapat Kabinet Terbatas tentang
Reforma Agraria (Rabu, 24 Agustus 2016), Presiden Jokowi memimpin Rapat Kabinet
Terbatas tentang Perhutanan Sosial (Rabu, 21 September 2016). Walaupun secara
posisi berbeda, namun Perhutanan Sosial memiliki kaitan substansi yang erat
dengan maksud dan tujuan Reforma Agraria. Jika reforma agrarian memberikan hak
penguasaan dan pemilikan atas tanah bagi rakyat, sementara Perhutanan Sosial
menyediakan akses bagi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan atas lahan di
atas kawasan hutan negara. Presiden meminta seluruh Kementerian/Lembaga untuk
kosentrasi mengatasi kemiskinan di pedesaan termasuk di desa-desa di dalam dan
di sekitar kawasan hutan. Ada 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan
dan 71.06% menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan.
Ada 10,2 juta orang miskin di dalam kawasan
hutan dan tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum terhadap milik dan
aksesnya pada sumberdaya hutan. Presiden mengarahkan perlu diambil
langkah-langkah kongkret untuk mengatasi kemiskinan di desa-desa di dalam dan
di sekitar sekitar kawasan hutan. Salah satunya dengan segera merealisasi kebijakan
perhutanan sosial yang memberikan akses ruang kelola sumberdaya hutan bagi
warga masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Presiden menyadari realisasi Perhutanan
Sosial baik melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman
Rakyat, Kemitraan, dan Hutan Adat masih belum optimal. Hutan Tanaman Rakyat
seluas 5,4 juta ha. Namun sampai tahun 2014, realisasi pencadangan areal lahan
hanya mencapai 702.520 hektar (13%), sedangkan ijin HTR yang diterbitkan oleh
Bupati hanya mencapai 188.649 ha. Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan
ditargetkan seluas 2,5 juta hektar dalam RPJMN 2009-2014, namun realisasinya
sampai tahun 2014 hanya mencapai 610.693 ha (24,45%).
Pemerintah desa memiliki kewenangan besar berdasarkan
UU No. 6 Tahun 2014. Dengan kewenangannya itu, pemerintah desa dapat
melaksanakan reforma agrarian melalui pengelolaan lahan desa bersama
masyarakat. Setiap desa memiliki kekayaan desa, termasuk tanah kas atau cadangan
desa sendiri.
Kekayaan desa yang berupa tanah/lahan
merupakan aset yang dapat dijadikan sumber jaminan sosial bagi masyarakat
miskin, petani tak bertanah, dan petani gurem. Pemanfaatan tanah/lahan yang
merupakan kekayaan desa dimungkinkan dengan mekanisme yang telah diatur dalam UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, termasuk apabila akan diatur secara khusus dalam
peraturan desa tersendiri atau melalui musyawarah desa.
Untuk memenuhi jumlah luasan tanah yang
dibutuhkan bagi setiap petani gurem dan tak bertanah, dibutuhkan penambahan
luasan tanah-tanah kas atau cadangan desa yang dilakukan secara bertahap.
Penambahan luasan tanah kekayaan desa menjadi penting untuk memenuhi perbandingan
jumlah petani gurem dan tak bertanah yang tergolong sebagai keluarga miskin
dengan jumlah luasan tanah kekayaan desa yang tersedia di desa untuk digarap
olehmereka. Penambahan tanah kekayaan desa dapat dilakukan secara bertahap
sesuai kemampuan desa; melalui pembelian dengan harga wajar, termasuk
diantaranya adalah dengan membeli dengan harga paling dasar tanah-tanah absentee
dari non-penduduk desa. Mekanisme wakaf tanah pertanian dari penduduk desa yang
tergolong memiliki tanah dalam jumlah luas ataupun dari penduduk non-desa
menjadi salah satu alternatif dalam proses ini.
Pemerintah desa dapat mengatur untuk
melakukan pencadangan tanah/lahan kas desa sebagai kekayaan desa secara
bertahap, di antaranya melalui proses-proses pencabutan hak atas tanah yang
terlantar (berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN), pembelian tanah-tanah absentee,
pelarangan konversi tanah/lahan pertanian, hingga ke bentuk-bentuk wakaf atau
hibah tanah pertanian dari individual kepada pemerintah desa untuk dikelola
sebagai lahan yang menjadi jaminan sosial bagi warga miskin atau yang tidak
bertanah.
(bahan baku dicuwil dari buku “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional
Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017”)
Judul, memang diambil
dari Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksud niat
arti adalah, wong loro
kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar