Halaman

Kamis, 20 Juni 2019

si gèdhèg lan si anthuk


si gèdhèg lan si anthuk

Pesan utama Presiden Joko Widodo dalam Rapat Kabinet Terbatas tentang Reforma Agraria pada 24 Agustus 2016 adalah bahwa di pedesaan, masalah kemiskinan, ketimpangan dan sulitnya lapangan pekerjaan adalah problem pokok dan mendasar yang dihadapi masyarakat. Untuk itu, Presiden menyatakan bahwa reforma agraria yang digulirkan Pemerintah kali ini berupaya untuk mengatasi ketiga masalah tersebut.

Selama ini, kepemilikan tanah di kalangan petani gurem dan buruh tani menjadi akar persoalan yang melahirkan lingkaran kemiskinan baru. Kelompok masyarakat ini, lantaran ketiadaan lahan, dipaksa oleh keadaan untuk lari ke kota, sementara keterampilan yang mereka miliki tidak cukup sebagai bekal mencari penghidupan di perkotaan.

Presiden Jokowi memerintahkan untuk segera mempercepat program reforma agraria ini, dengan fokus redistribusi lahan pada buruh tani yang tidak memiliki lahan dan petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar. “Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasan tanah, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah wilayah dan sumber daya alam,” demikian arahan Presiden.

Setelah Rapat Kabinet Terbatas tentang Reforma Agraria (Rabu, 24 Agustus 2016), Presiden Jokowi memimpin Rapat Kabinet Terbatas tentang Perhutanan Sosial (Rabu, 21 September 2016). Walaupun secara posisi berbeda, namun Perhutanan Sosial memiliki kaitan substansi yang erat dengan maksud dan tujuan Reforma Agraria. Jika reforma agrarian memberikan hak penguasaan dan pemilikan atas tanah bagi rakyat, sementara Perhutanan Sosial menyediakan akses bagi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan atas lahan di atas kawasan hutan negara. Presiden meminta seluruh Kementerian/Lembaga untuk kosentrasi mengatasi kemiskinan di pedesaan termasuk di desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Ada 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan dan 71.06% menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan.

Ada 10,2 juta orang miskin di dalam kawasan hutan dan tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum terhadap milik dan aksesnya pada sumberdaya hutan. Presiden mengarahkan perlu diambil langkah-langkah kongkret untuk mengatasi kemiskinan di desa-desa di dalam dan di sekitar sekitar kawasan hutan. Salah satunya dengan segera merealisasi kebijakan perhutanan sosial yang memberikan akses ruang kelola sumberdaya hutan bagi warga masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Presiden menyadari realisasi Perhutanan Sosial baik melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan, dan Hutan Adat masih belum optimal. Hutan Tanaman Rakyat seluas 5,4 juta ha. Namun sampai tahun 2014, realisasi pencadangan areal lahan hanya mencapai 702.520 hektar (13%), sedangkan ijin HTR yang diterbitkan oleh Bupati hanya mencapai 188.649 ha. Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan ditargetkan seluas 2,5 juta hektar dalam RPJMN 2009-2014, namun realisasinya sampai tahun 2014 hanya mencapai 610.693 ha (24,45%).

Pemerintah desa memiliki kewenangan besar berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014. Dengan kewenangannya itu, pemerintah desa dapat melaksanakan reforma agrarian melalui pengelolaan lahan desa bersama masyarakat. Setiap desa memiliki kekayaan desa, termasuk tanah kas atau cadangan desa sendiri.

Kekayaan desa yang berupa tanah/lahan merupakan aset yang dapat dijadikan sumber jaminan sosial bagi masyarakat miskin, petani tak bertanah, dan petani gurem. Pemanfaatan tanah/lahan yang merupakan kekayaan desa dimungkinkan dengan mekanisme yang telah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, termasuk apabila akan diatur secara khusus dalam peraturan desa tersendiri atau melalui musyawarah desa.

Untuk memenuhi jumlah luasan tanah yang dibutuhkan bagi setiap petani gurem dan tak bertanah, dibutuhkan penambahan luasan tanah-tanah kas atau cadangan desa yang dilakukan secara bertahap. Penambahan luasan tanah kekayaan desa menjadi penting untuk memenuhi perbandingan jumlah petani gurem dan tak bertanah yang tergolong sebagai keluarga miskin dengan jumlah luasan tanah kekayaan desa yang tersedia di desa untuk digarap olehmereka. Penambahan tanah kekayaan desa dapat dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan desa; melalui pembelian dengan harga wajar, termasuk diantaranya adalah dengan membeli dengan harga paling dasar tanah-tanah absentee dari non-penduduk desa. Mekanisme wakaf tanah pertanian dari penduduk desa yang tergolong memiliki tanah dalam jumlah luas ataupun dari penduduk non-desa menjadi salah satu alternatif dalam proses ini.

Pemerintah desa dapat mengatur untuk melakukan pencadangan tanah/lahan kas desa sebagai kekayaan desa secara bertahap, di antaranya melalui proses-proses pencabutan hak atas tanah yang terlantar (berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN), pembelian tanah-tanah absentee, pelarangan konversi tanah/lahan pertanian, hingga ke bentuk-bentuk wakaf atau hibah tanah pertanian dari individual kepada pemerintah desa untuk dikelola sebagai lahan yang menjadi jaminan sosial bagi warga miskin atau yang tidak bertanah.

(bahan baku dicuwil dari buku “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017”)

Judul, memang diambil dari Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksud niat arti adalah,   wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar