sengketa pilpres
nusantara 2019, bahasa politik vs bahasa hukum
Kawanan MK (mahkamah konstutusi) mempertaruhkan
kredibilitas profesionalisme berbasis dispilin ilmu, sekaligus berupaya
mendongkrak nilai jual untuk laju lejit di bursa kontrak politik. Di atas
kertas bungkus nasi bungkus yang berlapis kedap kuah. Berdasarkan latar
belakang sisa kadar malu-malu kucing politik lokal, sudah bisa ditebak hasil
akhir laga kandang sengketa pilpres 2019.
Yang mana dimana, bila mana, manakala bahasa politik klas
kampung mendominasi proses hukum. Keputusan kolektif kolegial sudah bisa
dilacak sejak awal. Terlebih sebagai negara yang masih, sedang, akan dan selalu
berkembang. Pancasila sebagai sumber hukum segala hukum, menjadi tergantung
kekuatan pasar, sentimen negatif pasar makro.
Konspirasi multinasional,
skenario semiglobal serta adab politik bebas warna, menambah deretan ‘korban
tak bertuan’. MK menjadi barisan setengah hati. Naluri hukumnya membisikkan pedih,
sanksi alam akan bicara jika hukum digadaikan.
Bahasa langit langsung turun tangan jika MK téga
sedemikian mégatéga demi kuasa nikmat dunia. Rakyat sudah berpengalaman dan
sarat asam garam kehidupan derita dunia. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar