karhutla vs mafia makar lingkungan hidup
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)
memang bukan program dan kegiatan andalan, unggulan, prioritas setiap periode
pemerintah. Tertera di RPJMN yang berakhir 2024. Menjadi isu politik dan kepedulian
antar pihak lokal, nasional dan global. Ekspor asap gratis ke negara tetangga,
tak sampai menjadi berita sensisonal dalam negeri.
Namanya globalisasi. Maka daripada
itu, karhutla punya mitra, rekan senasib. Sebut saja kerusakan hutan tropis Indonesia.
Ironis binti miris, cuwilan
fakta sejarah menyisakan beban bahwa Indonesia merupakan negara produsen karbon
terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Tingkok. Beda keparahan, AS
san China sebatas melepas karbon sebagai efek domino kegiatan industri. Posisi Indoneisa berkat kerusakan hutan.
Ketidaksingkronan antara
penyebab kebakaran dan cara penanggulangannya terjadi di semua negara di dunia.
Di Indonesia dan Brazil penyebab utama kebakaran adalah masalah sosial dan
politik, namun prioritas rencana dan aksi penanggulangannya adalah teknis dan
riset pemadaman kebakaran. Ketidaksingkronan ini ditengarahi melambatkan usaha
penanggulangan Karhutla. (sumber: https://www.researchgate.net/publication/294721273).
Sumber yang sama menyebutkan banyak
aktor yang berkepentingan dalam kebakaran hutan, baik yang ingin mencegahnya, menanggulangi
ataupun yang ingin mendapatkan keuntungan dan rente ekonomi. Secara umum aktor
yang berkepentingan dalam rantai kebakaran: pengklain hutan, pengurus kelompok
tani, anggota kelompok tani,tim pemasar lahan, pemerintah desa, pemerintah
kecamatan, pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, Kemen LHK,
makelar/spekulan tanah, pembeli lahan skala kecil (<25 ha), pembeli lahan
skala besar (>25 ha), pengusaha sawit kecil, pengusaha sawit besar, lembaga
advokasi, lembaga penguatan masyarakat madani, lembaga donor, korporasi lahan,
lembaga penelitian, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).
Penutup tetapi buka akhir
riwayat. Harga lahan akan melonjak tinggi jika penjual menjual lahan ‘Siap
tanam’ dimana lahan tersebut sudah dibersihkan (tebas, tebang) dan dibakar.
Istilah masyarakat setempat bagi mode transaksi ini adalah ‘Terima abu’. Tentunya
ada pembagian keuntungan kepada para
aktor dengan kondisi lahan ‘Terima abu’.
Semangat api revolusi mental, sigap
melibas lawan politik, siap melindas kamar sebelah, siaga menebas pihak yang
bersebarangan.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar