Halaman

Jumat, 20 November 2020

antara pencari keadilan dan pembutuh hukum

antara pencari keadilan dan pembutuh hukum

 Tak tersurat kata, lema ‘nusantara”, bisa kejadian di negara mana saja. Kemiripan dengan sejarah tanah-air, karena substansi, materi, pokok bahasan seolah menjauh dari jalur religius. Efek sistem politik dan partai politik model feodal, monarki, kapitalis dan antimonoteis. Kemasan dasar negara sejauh sejarah tetap diyakini selaku syarat administrasi negara merdeka.

 Ilmu para ulama nusantara, kian dihindar karena banyak pihak merasa lebih pintar. Wong pintar tanpa ilmu menjadi panutan manusia politik penganut politik haluan bebas tak bertu(h)an. Formulasi adil bak bahasa awang-awang, bahasa dewata. Membumi malah menimbulkan bayang-bayang angkara durjana.

 Rasa dan jiwa sosial manusia sosial dengan ahli pendapatan jauh di atas rata-rata nasional. Semakin kaya berbanding lurus dengan miskin jiwa sosial. Apalagi prestasi dunia yng diraih berkat kerja keras, otak cerdas dan keringat sendiri. Bukan hasil warisan keluarga sesuai trah silsilah darah merah sarat antibodi.

 Daya doa fakir miskin atau kinerja masyarakat berpenghasilan sehari, bependapatan pas-pasan. Langsung direspon oleh pintu langit. Pasal lain, tenaga kerja artinya bekerja dengan tenaga. Penyedia jasa diri yang bebas kontrak politik cipta kerja. Kalau semua lapisan masyarakat tidak ada yang miskin karena keturunan, bawaan lahir. Maka tidak ada pembangunan fisik andalan sedot modal asing.

 Jika semua anak bangsa nusantara karena kelahiran. [HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar