yang tersungkur
dari ketinggian kursi
Lagu lama langgam terbarukan. Persaingan, friksi, kontéstasi, konflik
internal di sebuah tubuh partai politik. Kian kisruh demi urutan cikal bakal
peraih kursi wakil rakyat. Puncak derita pada pemilu legislatif nasional.
Manusia politik yang sudah terjebak pada kebijakan partai. Sisi luar dituntut
untuk praktik 24 jam dengan aneka
tampilan atraktif agar masuk bursa ‘layak dipilih oleh rakyat’. Minimal, paling tidak masuk format ‘ada bakat layak dipilih
oleh rakyat’.
PR berlanjut akibat peta politik, dapil. Salah banyaknya. Penguasa lokal
menjadi pesaing utama politisi lokal. Rahasia umum jika sudah ada ‘orang kuat
provinsi’. Tak lepas dari tradisi politik Nusantara yang merangkul orang kuat
daerah.
Dinasti politik kian menancapkan cengkeraman kekuasaan manusia ekonomi
seminasional. Orang kuat lokal didukung rekadaya mitos, daya kendali sumber daya ekonomi asli daerah,
mobilisasi massa. Akhirnya, merambah ke
dominasi politik.
Asumsi historis eksistensi, jati diri penyakit politik lebih berkorelasi
dengan budaya politik. Pola periodeisasi untuk menjelaskan peta sebaran hama politik.
Dimensi kursi kekuasaan formal, kian meluas. Tidak bertambah tinggi. Batas antar
jenjang nyaris tak terdeteksi.
Penyakit politik sejalan dengan gaya disrupsi TIK. Bentuk sederhana gagap
teknologi, gagal teknologi. Oleh karena kehidupan demokrasi di Nusantara masih
sedang, selalu, akan berkembang. Maka revolusi teknologi informasi dan
komunikasi lewat aneka aplikasi membuat tatanan demokrasi kian tercabik dengan
riang.
Dendang borok politik diimbangi aroma irama syahwat politik penguasa. Ada ide
agar kawanan loyalis penguasa ditempatkan di satu pulau besar. Bebas mengatur
dirinya sendiri. Bilamana perlu dan yakin, mendirikan ibu kota negara baru. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar