Halaman

Rabu, 01 Mei 2019

yang tersungkur dari ketinggian kursi


yang tersungkur dari ketinggian kursi
Lagu lama langgam terbarukan. Persaingan, friksi, kontéstasi, konflik internal di sebuah tubuh partai politik. Kian kisruh demi urutan cikal bakal peraih kursi wakil rakyat. Puncak derita pada pemilu legislatif nasional.

Manusia politik yang sudah terjebak pada kebijakan partai. Sisi luar dituntut untuk praktik 24 jam  dengan aneka tampilan atraktif agar masuk bursa ‘layak dipilih oleh rakyat’.  Minimal,  paling tidak masuk format ‘ada bakat layak dipilih oleh rakyat’.

PR berlanjut akibat peta politik, dapil. Salah banyaknya. Penguasa lokal menjadi pesaing utama politisi lokal. Rahasia umum jika sudah ada ‘orang kuat provinsi’. Tak lepas dari tradisi politik Nusantara yang merangkul orang kuat daerah.

Dinasti politik kian menancapkan cengkeraman kekuasaan manusia ekonomi seminasional. Orang kuat lokal didukung rekadaya mitos,  daya kendali sumber daya ekonomi asli daerah, mobilisasi massa. Akhirnya,  merambah ke dominasi politik.

Asumsi historis eksistensi, jati diri penyakit politik lebih berkorelasi dengan budaya politik. Pola periodeisasi untuk menjelaskan peta sebaran hama politik. Dimensi kursi kekuasaan formal, kian meluas. Tidak bertambah tinggi. Batas antar jenjang nyaris tak terdeteksi.

Penyakit politik sejalan dengan gaya disrupsi TIK. Bentuk sederhana gagap teknologi, gagal teknologi. Oleh karena kehidupan demokrasi di Nusantara masih sedang, selalu, akan berkembang. Maka revolusi teknologi informasi dan komunikasi lewat aneka aplikasi membuat tatanan demokrasi kian tercabik dengan riang.

Dendang borok politik diimbangi aroma irama syahwat politik penguasa. Ada ide agar kawanan loyalis penguasa ditempatkan di satu pulau besar. Bebas mengatur dirinya sendiri. Bilamana perlu dan yakin, mendirikan ibu kota negara baru. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar