Halaman

Kamis, 09 Mei 2019

wah salah kedadèn, kursiku kabotan sungu

wah salah kedadèn, kursiku kabotan sungu
Judul kali ini, secara kebahasaan serupa tapi tak mirip dengan kejadian “apa lacur, sudah jadi pelacur”. Beda dengan pengalaman penghuni kamar sebelah. Berkat cerdas ideologi mampu meramu yang terlanjur tidak malah menjadi hancur. Muncul semboyan “nasi terlanjur jadi bubur, tambah santan” ujar masyarakat Minang.

Betapa ketar-ketir hati prabu DR (hc) Suyudana, penguasa tunggal kerajaan Asitinapura. Kisah Bharatayudha versi babad Jawa. Tidak ada yang mengkarang. Semua pihak mengeluarkan ujaran tertulis maupun lisan saat sambut kata. Model suka-suka. Sistem gethok tular antar generasi, sampai ke kuping anak bangsa pribumi klas peolok-olok politik.

Agar pemirsa yang berbudi bahasa benar, betul, baik. Agar tak keblusuk ke lembah datar tanpa makna. Peribahasa dalam bahasa Jawa, “kebo kabotan (ka-abot-an) sungu”. Maksud kata, kerbau keberatan tanduk. Dimaknai ibarat orang yang terlalu berat menanggung beban. •

Sesuai kata ki dalang Sobopawon. Asumsi cepat sejaraah pewayangan. Penguasa tunggal Astinapura, yakin tak kenal periode pemerintahannya. Tak akan ada pihak yang berani-nerani main jegal di tengah jalan. Kerajaan 100 Kurawa, terlihat kokoh. Disegani pihak tetangga. Apa gerangan yang menjadi beban kenegaraan. Tindak tanduk dari siapa yang menyebabkan atau merasa mengganggu wibawa kerajaan.

Semua versi mengarah pada olahpokal sang paman-kandung, sekaligus patih. Oknum ini sebagai pengendali diri sang raja. Bernama Sengkuni atau sebutan lokal lainnya. Rangkap jabatan, sebagai ketua umum partai politik milik pengusaha. Skenario, konspirasi politiknya masih berlaku saat ini.

 Menyoal sistem pertahanan keamanan dalam negeri. Panglima pemanah, justru dari saudara tua Pendawa Lima. Loyalitas total karena anugerah sebagai adipati Awangga. Tak kurang bolodupak, garda terdepan, pagar betis dan sebangsanya. Sigap bela kerajaan.

Penasihat spiritual, merangkap guru senam kebugaran, guru perang. Pendita Durna. Tak kalah pamor soal ‘mengarahkan’ kebijakan kerajaan. Tidak jelas perangkapjabatannya. Sebagai importir kodok sawah. Atau pemasok utama buaya darat. Penerawangan bahwa suatu saat buaya sebagai lambang koruptor.

Masih banyak lagi tokoh yang jarang muncul di panggung politik. Atau sekedar numpang liwat, jual tampang. Namun, bayarannya, gaji, honor, gratifikasi, uang rokok, uang pusing sama sedikitnya dengan pemain utama. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar