Halaman

Minggu, 05 Mei 2019

éthok-éthok dados wong cilik


éthok-éthok dados wong cilik

Lepas dari sejarah atau periwayatan. Nyatanya, filosofi jawatimuran 'Agawe Wong Cilik Melu Gumuyu' atau 'Membuat Rakyat Kecil Ikut Tertawa', masih enak dicerna peradaban Nusantara.

Sejarah penamaan, pengunaan nama ‘wong cilik’ menjadi suka-suka. Tidak ada aturan baku. Bukan saja terkait format sosial. Masuk modal sosial para manusia politik. Dipolitisir untuk jualan nama baik sebuah bentukan partai politik.

Apa ujar BPS tentang fakta sebutan ‘wong cilik’. Menjadi tabu atau membuat wibawa negara menjadi abu-abu. Apa kata kamus bahasa nasional maupun bahasa daerah, masih kalah pamor dengan kamus politik.

Tokoh wong gedhé  memiliki rasa prihatin politik. Tampil atraktif mengungkit, mengangkat, mengakut nasib wong cilik sehingga nyaris setara dengan status wong gedhé.

Pembangunan nasional membangun manusia Nusantara seutuhnya, mulai dari nol. Gerakan aksi nasional memanusiakan manusia melalui jalur poilitik isap jempol. Nyaris menjadi program dan atau kegiatan mengentaskan kemiskinan sosial wong cilik. Sentuhan peradaban diharapkan wong cilik naik strata.

Pasaran wong cilik sejauh ini dianggap loyal kepada patronnya, perindukannya. Di syahwat politik, posisi ‘wong cilik’ didaulat sebagai petugas partai. Bak pesuruh partai. Makanya, daya juang ideologi kian memudar.

Ketika ‘musang berbulu domba’ mengilhami sebuah partai politik menjadi partai wong cilik.

Yang jelas, bahwasanya wong bodho nanging sering nglakoni, luwih pinter karo wong pinter nanging durung tau nglakoni.

Artinya, walau akhirnya malah berlangganan terperosok ke lubang yang sama, bukan sebagai bentuk ke-“keledai”-an. Hanya diangap sebagai dinamika berpolitik tanpa ideologi.

Lazim jika anak garuda tidak bisa menjadi garuda seutuhnya. Karena dalam babakan durung tau nglakoni diwujudkan menjadi merasa sudah bisa atau merasa bisa menjadi garuda sejati. Merasa lebih garuda ketimbang garuda. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar