éthok-éthok dados wong cilik
Lepas dari sejarah atau periwayatan. Nyatanya, filosofi jawatimuran 'Agawe Wong Cilik Melu Gumuyu' atau 'Membuat Rakyat Kecil Ikut Tertawa', masih
enak dicerna peradaban Nusantara.
Sejarah penamaan, pengunaan nama ‘wong cilik’ menjadi suka-suka. Tidak ada
aturan baku. Bukan saja terkait format sosial. Masuk modal sosial para manusia
politik. Dipolitisir untuk jualan nama baik sebuah bentukan partai politik.
Apa ujar BPS tentang fakta sebutan ‘wong cilik’. Menjadi tabu atau membuat
wibawa negara menjadi abu-abu. Apa kata kamus bahasa nasional maupun bahasa
daerah, masih kalah pamor dengan kamus politik.
Tokoh wong gedhé memiliki rasa
prihatin politik. Tampil atraktif mengungkit, mengangkat, mengakut nasib wong
cilik sehingga nyaris setara dengan status wong gedhé.
Pembangunan nasional membangun manusia Nusantara seutuhnya, mulai dari nol.
Gerakan aksi nasional memanusiakan manusia melalui jalur poilitik isap jempol. Nyaris
menjadi program dan atau kegiatan mengentaskan kemiskinan sosial wong cilik. Sentuhan
peradaban diharapkan wong cilik naik strata.
Pasaran wong cilik sejauh ini dianggap loyal kepada patronnya,
perindukannya. Di syahwat politik, posisi ‘wong cilik’ didaulat sebagai petugas
partai. Bak pesuruh partai. Makanya, daya juang ideologi kian memudar.
Ketika ‘musang berbulu domba’ mengilhami sebuah partai politik menjadi
partai wong cilik.
Yang jelas, bahwasanya wong bodho nanging sering nglakoni, luwih
pinter karo wong pinter nanging durung tau nglakoni.
Artinya, walau akhirnya malah berlangganan terperosok ke lubang yang sama,
bukan sebagai bentuk ke-“keledai”-an. Hanya diangap sebagai dinamika berpolitik
tanpa ideologi.
Lazim jika anak garuda tidak bisa menjadi garuda seutuhnya. Karena dalam
babakan durung tau nglakoni diwujudkan menjadi merasa sudah bisa atau merasa bisa
menjadi garuda sejati. Merasa lebih garuda ketimbang garuda. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar