berdamai dan
mengoptimalkan akal diri
Efek domino tahun politik, akhir periode 2014-2019. Anak bangsa pribumi Nusantara pamer watak
mental budak politik. Semula hanya hak milik petugas partai. Dengan bahasa
tubuhnya yang tak nyaman namun direkayasa tampak nyaman. Demi menjaga wibawa
negara. Apalah arti harga diri. Demi nikmat kursi dunia.
Karakter bangsa sangat ditentukan kemahiran berbahasa tulis maupun berbahasa
lisan, ujaran, tindak buka mulut. Simak acara, atraksi, adegan di layar kaca. Dialog,
diskusi, debat penyelenggara negara plus kawanan loyalis. Pariwara dengan modus
kuno banding, sanding, tanding menjadi ajang resmi pembodohan. Motivasi tema
sinetron yang berepisode, menjabarkan rasa kehilangan identitas bangsa yang
besar. Benang merah kian membara.
Budi bahasa bangsa tergantung adab politik Nusantara. Asumsi cepat peran
dan peranan politik Nusantara, nyaris datar statis. Bukan karena rakyat buta
politik. Kebalikannya. Penguasa atau manusia politik kian melek politik malah
dengan sadar semakin gigih alergi sila-sila Pancasila.
Bencana politik, penyakit politik, konflik akibat politik, serta aneka
dekadensi politik menjadi menu resmi. Rasanya, anak bangsa pribumi Nusantara
lebih nyaman di ketiak bangsa asing. Minimal tak perlu mikir untuk ber-budi
bahasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar