3 penama Achmad, Rachmat, Rachman dan ironi sholat jum'at
Jum’at 24 Mei 2019,
bulan Ramadhan 1440H. Jadwal sholat zhuhur, beda bergerak cuma 2 menit. Saat itu
11:54. Selalu kuusahakan minimal setengah jam sebelumnya, sudah berada di shaf
terdepan masjid. Bahkan seolah berlomba dengan sesama jamaah yang sekaligus
sesama manula. Shaf terdepan sekitar mihrab.
Jatah berkurang
untuk khatib, imam, muazin dan pejabat teras masjid. Rasanya, setiap sholat 5
waktu, lokasi tertentu menjadi langganan. Siap datang duluan, pilih sesuai
pahala. Shaf terdepan lebih lega. Ukuran karpet sesuai kolom, bukan mepet
dinding.
Kembali ke judul. Pas
saya sampai tengah masjid. Tepatnya di natar 4 kolom. Dari arah kanan, bergegas
menyambut. Seseorang dengan gamis trendy yang masih segar. Pratanda lebih banyak
digantung atau dilipat. Ybs memakai tutup kepala nonputih. Terheran nyengir
kuda melihat kehadiran saya.
Busana yang kukenakan
memang jauh dari atribut busana muslim. Bersih menjadi panutan. Ysb langsung
jabat tanganku sambil menarik, berujar ketus, “ayo di belakang saja”. Sambil bergerak
ke shaf paling belakang. Bisa bersandar di dinding. Tanpa reaksi ucap. Tangan kutarik
kuat sambil melangkan ke depan. Kejadian seterusnya, sebagaimana baisanya. Tak perpengaruh
apalagi terganggu ulah si gamis.
Bukan kebetulan,
namanya ybs, nama depannya Achmad. Soal usia, saya kalah tua beberapa dekade. Soal
gamis. Memang beliau jamaah khusus jum’at. Itupun kalau ingat. Biasanya, kata
ybs ke orang lain. Jumatan di mushola dekat rumah. Jamaah di mushola dimaksud. Memang
tahu beliau. Soal sebagai jamaah, tak dijawab. Cuma nyengir tanda.
Saya jadi ingat
cerita pak Rachmat. Tetangga satu blok dengan ki Achmad. P Rachmat paling tua
di antara 3 nama sesuai judul. RI saja kalah tua. Dengan bangga p Rachmat,
bulan Mei 2019. Cerita, dapat sarung dari anak perempuannya yang alumni UIN SH
atau anggota ILC (ikatan lulusan ciputat). Agar sang bapak jumatan. Demi permintaan
sang anak. Singkat cerita, begitu p Rachmat mau berdiri sholat jumat. Kaki kesrimpet,
terjengkang. Dia mengeluh, setelah kejadian, kakinya sakit untuk sholat. Terpaksa
duduk. Saat kutanya santai, jadi memang selama ini sholat. Cuma diam malu.
Kubilang, di masjid
ada beberapa jamaah yang sholat duduk di bangku atau di karpet. Tak masalah. Hati
kecilnya merasa kualat dengan masjid. Tak heran, kemana saja selalu memakai
celana pendek. Biar dikira low profile.
Bagaimana dengan
kisah bung Rachman atau lengkapnya, Rachmansyah sebagai nama belakang. Biasa diceluk
nama depannya, Rudi. Keliru malah jadi. Aktivis lingkungan RT dan RW. Saat
menjadi Set RW, pas ada kampanye pemilihan ketua RW. Salah satu kandidat,
pesohor yang dianggap berpunya.
Akhirnya, mereka
berdua rajin ke masjid. Khususnya jumatan. Memakai baju koko atau busana batik.
Berpeci sesuai busana. Bahasa tubuh dan gaya raga disesuaikan dengan suasana
masjid. Termasuk gemar bersalaman. Pasca penetapan hasil pemilihan ketua RW
yang diikuti dua calon. Kebetulan sang kandidat dapat nomor dua, alias gagal. Dibutikan
dengan langsung “lenyap” sebagai pasangan jamaah.
Apa arti sebuah
nama. Sang pemberi nama, orang tua tentu ada maksud, tujuan dan harapan.
Jangan ditafsirkan,
ketiga oknum umat Islam sesuai judul, keberatan nama. Mereka bertiga di blok
yang berbeda tetapi satu RT.
Masih ada waktu
buat pemirsa untuk berkirim doa buat mereka. Ayo baca surat Al-Faatihah.
Kalau penasaran. Silahkan
datang ke lokasi peristiwa ini diolahkatakan. Selagi ybs masih eksis. Siapa duga
namanya usia. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar