Halaman

Jumat, 03 Mei 2019

gagal bayang-gayang masa lampau vs gagap bayang-bayang masa depan


gagal bayang-gayang masa lampau vs gagap bayang-bayang masa depan
Bukan salah bunda atau Ibu Pertiwi mengandung. Bukan juga salah Nusantara mengundang tamu tak diundang. Bukan tiba-tiba bangsa pribumi menanggung PR besar.

Gagal panen, gagal paham, gagal teknologi maupun gagap teknologi tampak menjadi menu harian. Bahasa tubuh kawanan loyalis penguasa kian menyuratkan dan menyiratkan ikhwal dimaksud.

Beda dengan pasal gagal panen. Malah menjadi dalih konstitusional untuk meningkatkan kerja sama dengan mancanegara. Timbal balik ekspor-impor. Kedaulatan, kemandirian, ketahanan pangan tak mampu menampik modus pasar bebas, tekanan pasar makro, sentimen pasar global.

Wong Jawa punya ramuan, resep, racikan tradisional untuk menjaga stabilitas adab kehidupan bermasyarakat. Dikenal dengan falsafah perhitungan: babat, bibit, bobot, bebet. Bahkan nama orang bisa menunjukan peruntungan.

Wajar jika mental feodal sejalan dengan mental inlander, inferior. Budak modern adalah budak politik. Tuan tanah, majikan, juragan bernama pendiri parpol, oknum ketum sebuah parpol. Atau bisa berupa orang kuat di balik parpol. Maksudnya, putra-putri asli daerah tertentu dijadikan boneka politik.

Mengacu istilah Jawa adalah weruh sakdurunge winarah. Filosofi politik penguasa pun mendominasi praktik demokrasi Nusantara  yang seyogyanya bisa demokratis.

Mantra ujaran orang tua di dalam ekologi rumah tangga sangat berdampak.  Kalimat positif, menjadi pengungkit, pengangkat, pengangkut untuk  anak-anak yang sukses.  Sebaliknya, rangkaian kata  negatif macam olok-olok politik menjadi menu harian keluarga gagal sejahtera.

Filosofi wong Jawa bertutur santai, mendhem jero mikul dhuwur. Diterjemahbebaskan, modal keringat orangtua, sigap terima suap dari pihak manapun. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar