ucek-ucek cangkem Nusantara, pamer bungkem vs sok mingkem
Ilmu padi mendapat bentuk perlawanan. Mirip tapi berlawanan hakikat. Muncul
istilah ilmu kondom. Sama-sama berbasis makna berisi, bernas, berbobot. Beda
nyata pada tongkrongan sosok fisik pada saat sama-sama berisi full tank.
Peribahasa ’tong kosong nyaring bunyinya’. Perut kosong, malah main
keroncongan. Otak kosong, hanya kiasan. Garang ujarannya. Justru dibutuhkan di
modus politik Nusantara. Di atas kertas, pemain berkaliber ‘otak kosong’, layak
diandalkan. Bisa bermain di semua lini. Menjadi petugas yang sandika dhawuh, pesuruh yang sadhiya dhawuh, pengabdi yang nyadhong dhawuh.
Mulut bisa digethok, menjadi gethok-tular atau dari mulut ke mulut. Yang
ini bukan macam lomba 17 agustusan. Estafet kekuasaan, diserahterimakan dengan
pola ‘dari mulut ke mulut’. Dari mulut jatuh ke hati. Ungkapan penyuka kuliner.
Peribahasa atau bentuk lokal, yang bermodal lema ‘mulut’ memang enak
disimak. Bukti ringan memang sejak anak bangsa Nusantara tahu betul manfaat
mulut. Pasal utama dinamikan kehidupan harian. Mulut tidak sekedar berkaitan
langsung dengan urusan nikmat perut.
Mulut bisa sebagai alat utama
mewujudkan cita-cita. Profesi yang mana uang malah sibuk mencarinya. Bermodal
kapasitas dan daya jelajah, daya jangkau, daya cengkeram mulut.
Perubahan waktu yang konsisten terjadi. Membuat tridaya mulut tersebut di
atas. Kian bebas bertridaya sesuai argo Rp. Agar mulut tetap mendapat tempat
terhormat. Maka urusan buka suara. Pastikan yang empunya mulut masuk kategori
ahli ‘silat lidah’. Membolak-balik fakta bak pembela.
Diamnya pendendam dendam-politik lebih ganas ketimbang fitnah politik,
olok-olok politik.
Tangan bebas untuk menyuarakan dendam-politik. Dikarenakan cerdas
ideologinya masih dalam proses berkembang. Belum layak ikut laga keluar
kandang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar