Halaman

Sabtu, 25 Mei 2019

golongan putih vs nonpancasilais


golongan putih vs nonpancasilais

Kian anak bangsa pribumi nusantara, kaum boemippetra, putra-putri asli daerah bermental nonpancasilais, berbanding lurus merasa memandang golongan putih sebagai antipancasila. Bahkan berujar, kalau mau golput jangan tinggal di bumi Pancasila. Cukup disimak sekali. Apa yang tersirat, itulah kandungan makna.

Golongan putih yang muncul di pemilu Orde Baru. Jika masih eksis, pratanda manusia politik sudah tanpa tédéng aling-aling. Blak-blakan apa maunya, maunya apa. Masuk partai politik, apalagi mendirikan sebuah bentukan baru partai politik, yang jelas-jelas saja niatnya.

Tak perlu fakta. Jelas pihak mana yang melestarikan golongan putih. Ingat judul “Buruk Politik Nusantara, Golput Dipidana”, atau “Indonesia, buruk politik rakyat dibelah”.

Semakin membubung urusan negara, akan masuk dan berbaur dengan lalu lintas dunia. Kebijakan politik mau tak mau harus mengakomodir kepentingan global. Di dalam negeri, fungsi legislasi untuk memperkuat kebijakan pemerintah, yang bisa merupakan “pesanan” pihak multinasional. Simak sejenak judul “aktor non-negara politik luar negeri vs aktor negara politik dalam negeri”.

Lembaga survei, hasil jajag pendapat, asumsi cepat tanpa rumus atau model cacah acak membuktikan. Manusia politik tidak otomatis melek politik. Apalagi cerdas ideologi. Pos pengeluaran biaya politik, ongkos perkara politik kian berlapis. Rasa percaya diri kian menipis. Pemilu legislatif kalah pamor dengan pilpres.

Tak salah jika pihak yang merasa menerima mandat warisan kekuasaan. Anak cucu ideologis penggagas usaha keluarga partai politik. Warisan menu politik ‘nasakom’, sejak jayanya di zaman Orde Lama, tak akan pernah lekang oleh suhu politik makro. Tetap eksis berkat politik praktis.

Bentuk nyata dari praktik demokrasi atau Pancasila adalah antara politik dan kekuasaan menjadi satu paket utuh. Menjadi bak dua sisi mata uang kertas maupun recehan logam RI. Memenuhi syarat kebangsaan.

Merahnya sang merah-putih semakin membara. Berani melibas siapa saja. Maksudnya, siap menerima order jasa tukang libas. Kalau tak mau diajak rembuk, pakai cara main gepuk, gebuk habis-habisan. Habis perkara malah menuntut balik.

Perubahan peradaban yang pernah terjadi di Nusantara, bak menunggu pendulum waktu. Mau dipelopori dari atas – ing ndhuwur agawe mulyo dhewek  dengan kontrak politik lima tahun. Bisa saja terjadi perubahan mendasar berawal di akar rumput –  ing  ngisor kepidak-pidak  bareng – tanpa batas waktu formal konstitusional. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar