golongan putih vs nonpancasilais
Kian anak bangsa
pribumi nusantara, kaum boemippetra, putra-putri asli daerah bermental nonpancasilais,
berbanding lurus merasa memandang golongan putih sebagai antipancasila. Bahkan
berujar, kalau mau golput jangan tinggal di bumi Pancasila. Cukup disimak
sekali. Apa yang tersirat, itulah kandungan makna.
Golongan putih yang
muncul di pemilu Orde Baru. Jika masih eksis, pratanda manusia politik sudah
tanpa tédéng aling-aling. Blak-blakan apa
maunya, maunya apa. Masuk partai politik, apalagi mendirikan sebuah bentukan
baru partai politik, yang jelas-jelas saja niatnya.
Tak perlu fakta.
Jelas pihak mana yang melestarikan golongan putih. Ingat judul “Buruk Politik
Nusantara, Golput Dipidana”, atau “Indonesia, buruk politik rakyat dibelah”.
Semakin membubung
urusan negara, akan masuk dan berbaur dengan lalu lintas dunia. Kebijakan
politik mau tak mau harus mengakomodir kepentingan global. Di dalam negeri, fungsi
legislasi untuk memperkuat kebijakan pemerintah, yang bisa merupakan “pesanan”
pihak multinasional. Simak sejenak judul “aktor non-negara politik luar negeri
vs aktor negara politik dalam negeri”.
Lembaga survei,
hasil jajag pendapat, asumsi cepat tanpa rumus atau model cacah acak
membuktikan. Manusia politik tidak otomatis melek politik. Apalagi cerdas
ideologi. Pos pengeluaran biaya politik, ongkos perkara politik kian berlapis.
Rasa percaya diri kian menipis. Pemilu legislatif kalah pamor dengan pilpres.
Tak salah jika
pihak yang merasa menerima mandat warisan kekuasaan. Anak cucu ideologis
penggagas usaha keluarga partai politik. Warisan menu politik ‘nasakom’, sejak
jayanya di zaman Orde Lama, tak akan pernah lekang oleh suhu politik makro. Tetap
eksis berkat politik praktis.
Bentuk nyata dari
praktik demokrasi atau Pancasila adalah antara politik dan kekuasaan menjadi
satu paket utuh. Menjadi bak dua sisi mata uang kertas maupun recehan logam RI.
Memenuhi syarat kebangsaan.
Merahnya sang merah-putih
semakin membara. Berani melibas siapa saja. Maksudnya, siap menerima order jasa
tukang libas. Kalau tak mau diajak rembuk, pakai cara main gepuk, gebuk habis-habisan. Habis perkara malah menuntut balik.
Perubahan peradaban
yang pernah terjadi di Nusantara, bak menunggu pendulum waktu. Mau dipelopori
dari atas – ing ndhuwur agawe mulyo dhewek – dengan kontrak politik lima
tahun. Bisa saja terjadi perubahan mendasar berawal di akar rumput – ing ngisor kepidak-pidak bareng – tanpa batas
waktu formal konstitusional. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar