Halaman

Rabu, 01 Mei 2019

kontradiksi politisi sipil, buruh politik lokal vs pekerja partai global


kontradiksi politisi sipil, buruh politik lokal vs pekerja partai global
Pukul 10am, hari buruh 2019. Libur nasional dan persiapan umat Islam sigap sambut bulan mulia Ramadhan 1440H. Bagi pihak berkepentingan dengan buruh, sibuk ritual acara seremonial, kolosal. Isu buruh menjadi milik dunia. Indonesia hanya sekedar berpartisipasi seadanya. Pasif bukan aktif juga tidak. Menunjukkan posisi nilai tawar Nusantara di laga dunia.

Elite politik Nusantara memanfatkan momentum hari buruh. Seolah begitu peduli, empati dan siap pasang badan bela. Seiring dengan modus operandi memperdagangkan identitas demi mendongkrak status partai.

Pekerja atau buruh, sebagai komunitas demokrasi nasibnya di tangan manusia ekonomi atau pengusaha. Kendati antar pekerja dan atau buruh, terbentuk ikatan atau solidaritas, kesetiakawanan tidak serta menjadi bentuk primordialisme.

Arus kuat publikasi bagian utama dari propaganda, promise, provokasi penguasa. Jika suara buruh menjadi isu sampingan pemerintah, pratanda  ikatan dan kolektivitas dari antar serikat buruh dan atau pekerja masih diperhitungkan sesaat.

Bicara serikat, federasi atau kelompok identitas buatan atau perpanjangan tangan pemodal. Sudah banyak ahlinya atau yang punya ilmu, hanya menjaga stabilitas kepentingan. Kembali ke judul.

Identitas atau isu buruh bersifat pasang surut, fluktuatif. Terasa enak, tidak memancing rasa gerah, karena ada tahap pelestarian identitas di laga kandang. Padahal, skenario periode kedua, masuk pembiaran antar identitas kaum buruh atau antar pihak beda kepentingan masuk ruang konflik.

Rakyat paham aneka  bentuk bentuk ancaman yang berpotensi menggangu persatuan, kesatuan dan keutuhan Nusantara. Utamanya dari pola konflik kekerasan terselubung dan penyebaran  ujaran kebencian. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar