ragam makar Nusantara,
hukum vs hukum
Bisa-bisanya. Menguasai Nusantara mulai dari parlemen. Bukan kudeta atau
sejenisnya, apalagi makar konstitusional. Prolegnas kian menunjang daya guna
Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, menghadirkan tambahan ayat pada Pasal 1. Berupa
ayat (3), tersurat “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Hadirnya aneka ragam UU diyakini membuat anak bangsa lebih cerdas bergaul. Mampu
atau penyitas dari beban hidup, tekanan hidup, tantangan hidup. Perjuang hidup
ada ambang batas. Mulai pandangan hidup sampai susah hidup.
Kehidupan bermasyarakat sudah ada adab bertetangga. Aroma dapur keluarga,
dengan garam impor, bawang putih impor, cabai selundupan membuat hidung lokal
kembang-kempis. Tak nyambung. Pola hidup berasaskan kerukunan, guyub, gotong
royong, tepa slira atau tenggang rasa menjadi menu harian.
Budaya “kumpul kebo” disalip dengan gaya hidup ala LGBT. Bukti kepedulian pihak berwenang
untuk memfasilitasi urusan bawah perut. Sebegitunya. Menggoyang keutuhan
Nusantara dengan cara melemahkan daya religi. Soliditas religi bisa digerogoti
dengan rayuan politik. Islam tak mengharamkan berpolitik.
Bidang singgung manusia politik dengan dunia luar. Terlihat masih barang
baru, bukan jaminan bebas intervensi. Skenario, konspirasi bisa disubkan,
didelegasikan. Macam petugas partai 2014-2019. Tak heran, di praktik politik
luar negeri bebas aktif dan bebas bolos. Lebih terhormat blusukan, studi
banding ke pasar tradisional.
Peta politik menunjukkan supremasi peradaban politik Nusantara. Terlihat
merah saja hingga yang merah banget. Modus dinasti politik yang mewujudkan pemerintah
bayangan, sebagai bukti ringan dinamika politik.
Primitivisme anak bangsa pribumi
Nusantara, kaum bumipoetra, putra-puti asli daerah yang menjadi manusia
politik. Terjaga, terlindungi, terpelihara dengan seksama. Marwah politik
abal-abal menjadikan pejah gesang ndèrèk panguwasa. Sigap menjadi apa saja. Siaga dijadikan apa saja. Siap
diposisikan di mana saja. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar