Halaman

Kamis, 09 Mei 2019

desa Nusantara vs negara multikonflik agraria


desa Nusantara vs negara multikonflik agraria

Bukan masalah kewajaran. Secara historis ekologis. Ada kaitan fungsional antara desa, sawah dan sebutan negara agraris. Hamparan sawah menghijau. Sistem irigasi, pengairan yang terpadu dengan karakter lingkungan. Terdapat petak-petak sawah bak bertangga, sistem térasiring. Menambah bukti, Nusantara seolah secuwil surga yang muncul di dunia.

Posisi petani, selalu di antara dua kubu kepentingan. Antara nilai jual sawah, sertifikat tanah garapan dengan kebijakan kemandirian, ketahanan pangan nasional. Tak perlu ditebak. Dipastikan posisi petani padi atau produk pangan lainnya, mengikuti hukum gravitasi, daya tarik bumi.

Mengutamakan urusan perut yang mana nasi adalah makanan pokok. Kebutuhan beras per kapita setiap tahun menjadi fokus pemerintah. Artinya, kebijakan perut selalu akan kalah pamor dengan “kebijakan” mulut. Tepatnya, pergerakan manusia politik tergantung belas kasih manusia ekonomi.

Ironis negara agraris. Pertambahan jumlah penduduk pengkonsumsi nasi, memang tidak perlu berbanding lurus dengan pertambahan luas tanah pertanian. Adalah pola inténsifikasi, optimalisasi tanah pertanian. Seperti pembagian gratis traktor tangan bantuan presiden 2014-2019. Diimbangi bagi-bagi sertifikasi tanah pertanian.

Simak santai olahkata “Beri Petani Traktor Tangan, Bukan Beras Impor”. Wajar kalau masih ada Operasi Pasar, agar ketersediaan beras di pasar bebas, tidak minimal. Artinya, rakyat sudah tidak bisa merasakan nikmatnya beras impor. Petani menjadi sejahtera. Jargon “kalau mau sejahtera, jangan jadi petani” sudah usang.  Jangan dimodifikasi menjadi “kalau rakyat ingin makmur dan sejahtera, jadilah wakil rakyat”.

Tak mau kalah unjuk olahkata, buka cepat “traktor tangan bantuan presiden vs ketahanan tangan petani”.  Sayangnya, di Buku I, II, dan III RPJMN 2015-2019, frasa “traktor tangan” tidak muncul. Yang muncul malah kata “kontraktor”.

Karena RPJMN 2015-2019 merupakan penjabaran Trisakti dan Nawa Cita andalan kampanye Jokowi plus/minus JK, maka sejak tahun pertama presiden langsung bagi-bagi traktor tangan ke petani di Indonesia.

Cita-cita luhurnya, adalah agar produktivitas panen padi meningkat menjadi 7-8 ton Gabah Kering Giling (GKG). Sejauh ini rata-rata panen skala nasional 5,2 ton GKG.

Dari hasil pengendusan tim sukses, relawan, garda terdepan pendukung, kawanan loyalis Jokowi, dengan survei tanpa survei, fakta saji cepat, dapatlah disimpulkan bahwa keprigelan tangan petani meningkat.

Cukup 3 (telu) judul olahkata yang jadi acuan cepat. Yang ketiga, “suksesi politik pangan, sertifikasi lahan+traktor tangan+ . . .”. Petani memang tidak bermain di lapangan hijau. Lebih dari itu. Mengolah tanah dengan modal tenaga, ayunan cangkul. Modal naik, punya kerbau si pembajak sawah. Dukungan pemerintah, dengan traktor tangan bantuan presiden. Ditambah kebijakan pemerintah yang menambah kepemilikan luas lahan tani.

Asas P4T alias penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah.

Petani sejahtera sebagai indikator utama, pokok keberhasilan swadaya pangan. Soal masih terjadi praktik impor pangan, itu masalah etika perdagangan dunia. Posisi dan nilai tawar Indoesia selalu mudah ditawar sampai ambang bawah.

Nasib tani sudah menjadi obyek/subyek serikat pekerja tani, asosiasi tani, ormas tani, kelompok sadar tani sampai kementan. Termasuk ada hari tani nasional. Kurang apa lagi.

Bergegas menutup olahkata ini. belum mengakhiri. Seberapa sedikit konflik agraria muncul di tiap desa atau sebutan lainnya. Tipikalisasi kasus, lagu lawas yang didaur ulang, rakyat di satu pihak akan berhadapan dengan koalisi penguasa dengan pengusaha.

Jelas fakta, ada nomenklatur berbasis sesuai judul ada di beberapa K/L maupun pihak swasta. Berita baik tentang konflik agraria, menjadi hasil pertimbangan redaksi. Dalil komersial jurnalis. Apa ruginya mengkabarkan.

Di tingkat lokal. Mau tahu saja. Reputasi konflik agrarian bisa menjadi kajian akademis. Minimal sebagai bahan skripsi perguruan tinggi yang ada di lokasi kejadian. Tergantung skala kebencanaan. Seseorang mampu meraih derajat doktor, S3 atau sebutan gelar sepandan. Cuma melakukan analisa cepat aneka kasus yang tertpendam. Jauh dari jangkauan penginderaan awak media.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar