Halaman

Kamis, 09 Mei 2019

tukar kursi, Penyelesaian Kerangka Regulasi dan Penguatan Konflik Agraria


tukar kursi, Penyelesaian Kerangka Regulasi dan Penguatan Konflik Agraria

Bahan baku, sumber data dan atau informasi tertulis, tercetak saya ambil cepat dari Buku “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017”.

Secara umum, tujuan program prioritas “Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria” adalah menangani dan menyelesaikan konflik agraria struktural di berbagai sektor strategis, seperti pertanahan, kehutanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur, pesisir, dan sebagainya melalui penanganan dan penyelesaian kasus-kasus konflik agraria secara cepat, emansipatoris, sistematis dan berkeadilan.

Pelaksanaan reforma agraria ini dikenakan pada kategori-kategori tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik Jokowi-JK dalam Nawacita dan juga termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Pelaksanaan reforma agraria tidak hanya memerlukan komitmen politik yang menjadi dasar motivasi pejabat-pejabat pemerintah bekerja di masing-masing kementerian dan lembaga pemerintah maupun menjalin kerjasama antar kementerian dan lembaga pemerintah. Agar manjur mencapai tujuannya, pimpinan kementerian dan lembaga yang merancang dan menjalankan reforma agraria harus mengerahkan segala kekuatan yang diperlukan termasuk mengurangi kekuasaan pihak-pihak yang menghalangi misi reforma agraria ini.

Reforma agraria menyediakan pilihan lain bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin di desa, khususnya para pemuda-pemudi dari rumah tangga petani untuk keluar dari kemiskinan. Masyarakat miskin di pedesaan sudah harus dapat menguasai tanah tanah produktifnya di desa, demikian pula masyarakat adat harus dapat penguasaan kembali aset asset produktifnya secara legal, untuk dapat mengembangkannya.

Reforma agraria memberikan kepastian masyarakat miskin memiliki hak atas tanah dan akses atas lahan hutan secara bersama (kolektif), melakukan pemulihan layanan alam melalui penatagunaan tanah secara berkelanjutan untuk perbaikan ekosistem, dan meningkatkan produktivitas melalui pengusahaan tanah bersama melalui badan-badan usaha bersama termasuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), termasuk di dalamnya Badan Usaha Milik Desa Adat, dan Badan Usaha Milik Antar Desa (BUMaDes).

Reforma agraria akan menahan laju konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan di pedesaan melalui pemberian kepastian hak kepemilikan dan akses atas lahan secara kolektif untuk masyarakat miskin di pedesaan. Selain itu, reforma agraria menjadi momentum membangkitkan partisipasi masyarakat dan memberdayakan pemerintah desa untuk menata penguasaan, pemilikan, penatagunaan, dan memanfaatkan lahan dan hutan.

Tentunya, substansi narasi buku “arahan” padat berisi, bernas, sebagai kesimpulan sejarah serta gagasan mulia dalam satu periode.

Misi dari Arahan Kantor Staf Presiden dilaksanakan dalam 5 (lima) program prioritas, yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria; (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Obyek Reforma Agraria; (4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria; dan (5) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah.

Jadi, niat dalam hati berolah kata, sesuai jaudul, mengacu butir (1) dari 5 (lima) alenia sebelum ini.
Cuplikan “Latar Belakang”: Di bawah rezim Orde Baru, kewenangan pemerintah pusat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam dilakukan secara sektoral, otoritarian, dan sentralistik. Setelah berlakunya Otonomi Daerah di tahun 2000, kewenangan pemerintah daerah menguat dalam pengaturan tanah dan kekayaan alam khususnya dalam pemberian lisensi-lisensi pemanfaatan lahan/hutan/tambang.

Diterjemahkan bebas sampai ke telinga obyek, menjadi angin surga. Jalur birokrasi yang wajib diliwati menjadikan apa saja bisa terjadi. Kalau sang petugas partai, tak secara seremonial blusukan sampai ke lokus dan fokus skenario janji politik. Malah menambah panjang derita rakyat.

Selama ini, upaya untuk memberikan kepastian hukum atas pemilikan tanah rakyat masih belum optimal. Apalagi kepastian hukum dalam penyelesaian konflik agraria yang sifatnya struktural dan legalisasi hak rakyat atas tanah-tanah obyek reforma agrarian (TORA) masih belum dapat dijalankan seiring belum adanya mekanisme dan kelembagaan yang khusus untuk menyelesaikan konflik dan melaksanakan reforma agraria.

Tahap sosialisasi, sertifikasi  untuk aparat sampai tingkat yang berhadapan langsung dengan rakyat, butuh waktu tak secepat proses hitung cepat pesta demokrasi. Aparat harus punya amunisi lahir batin. Pendekatan aféksi, menjadi landasan kerja.

Pelaksanaan reforma agraria disesuaikan dengan tipologi desa, sehingga menjadi: Desa Pertanian Sawah, Desa Hutan, Desa Perkebunan, Desa Pesisir, Desa Peri-Urban, dan Desa Adat karena setiap desa memiliki kekhasan karakteristik ekosistem, modal sosial dan kelembagaan, dan kekuatan produktif yang berbeda-beda. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa tidak ada “one magic recipe” atau “satu resep ampuh” untuk semua masalah. Karakteristik masalah setiap wilayah yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda dalam pelaksanaan reforma agraria. Meskipun pada praktiknya, setiap tipologi harus menyesuaikan keadaan riil dari desa yang menjadi lokasi reforma agraria dan pembangunan desa.

Pokoknya . . . [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar