tukar kursi, Penyelesaian Kerangka Regulasi dan Penguatan Konflik Agraria
Bahan baku, sumber data dan atau informasi tertulis, tercetak saya ambil cepat
dari Buku “Arahan Kantor Staf Presiden: Prioritas Nasional Reforma Agraria
dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017”.
Secara umum, tujuan program prioritas “Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik
Agraria” adalah menangani dan
menyelesaikan konflik agraria struktural di berbagai sektor strategis, seperti
pertanahan, kehutanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur,
pesisir, dan sebagainya melalui penanganan dan penyelesaian kasus-kasus konflik
agraria secara cepat, emansipatoris, sistematis dan berkeadilan.
Pelaksanaan reforma agraria ini dikenakan pada kategori-kategori tanah
seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik
Jokowi-JK dalam Nawacita dan juga termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Pelaksanaan reforma agraria tidak hanya memerlukan komitmen politik yang
menjadi dasar motivasi pejabat-pejabat pemerintah bekerja di masing-masing
kementerian dan lembaga pemerintah maupun menjalin kerjasama antar kementerian
dan lembaga pemerintah. Agar manjur mencapai tujuannya, pimpinan kementerian
dan lembaga yang merancang dan menjalankan reforma agraria harus mengerahkan
segala kekuatan yang diperlukan termasuk mengurangi kekuasaan pihak-pihak yang
menghalangi misi reforma agraria ini.
Reforma agraria menyediakan pilihan lain bagi kelompok-kelompok masyarakat
miskin di desa, khususnya para pemuda-pemudi dari rumah tangga petani untuk
keluar dari kemiskinan. Masyarakat miskin di pedesaan sudah harus dapat menguasai
tanah tanah produktifnya di desa, demikian pula masyarakat adat harus dapat
penguasaan kembali aset asset produktifnya secara legal, untuk dapat
mengembangkannya.
Reforma agraria memberikan kepastian masyarakat miskin memiliki hak atas
tanah dan akses atas lahan hutan secara bersama (kolektif), melakukan pemulihan
layanan alam melalui penatagunaan tanah secara berkelanjutan untuk perbaikan
ekosistem, dan meningkatkan produktivitas melalui pengusahaan tanah bersama
melalui badan-badan usaha bersama termasuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), termasuk
di dalamnya Badan Usaha Milik Desa Adat, dan Badan Usaha Milik Antar Desa
(BUMaDes).
Reforma agraria akan menahan laju konsentrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan lahan di pedesaan melalui pemberian kepastian hak
kepemilikan dan akses atas lahan secara kolektif untuk masyarakat miskin di
pedesaan. Selain itu, reforma agraria menjadi momentum membangkitkan
partisipasi masyarakat dan memberdayakan pemerintah desa untuk menata
penguasaan, pemilikan, penatagunaan, dan memanfaatkan lahan dan hutan.
Tentunya, substansi narasi buku “arahan” padat berisi, bernas, sebagai
kesimpulan sejarah serta gagasan mulia dalam satu periode.
Misi dari Arahan Kantor Staf Presiden dilaksanakan dalam 5 (lima) program
prioritas, yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik
Agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria; (3)
Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Obyek Reforma Agraria; (4)
Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah
Obyek Reforma Agraria; dan (5) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan
Daerah.
Jadi, niat dalam hati berolah kata, sesuai jaudul, mengacu butir (1) dari 5
(lima) alenia sebelum ini.
Cuplikan “Latar Belakang”: Di bawah rezim Orde Baru, kewenangan pemerintah
pusat mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah dan
kekayaan alam dilakukan secara sektoral, otoritarian, dan sentralistik. Setelah
berlakunya Otonomi Daerah di tahun 2000, kewenangan pemerintah daerah menguat
dalam pengaturan tanah dan kekayaan alam khususnya dalam pemberian
lisensi-lisensi pemanfaatan lahan/hutan/tambang.
Diterjemahkan bebas sampai ke telinga obyek, menjadi angin surga. Jalur birokrasi
yang wajib diliwati menjadikan apa saja bisa terjadi. Kalau sang petugas
partai, tak secara seremonial blusukan sampai ke lokus dan fokus skenario janji
politik. Malah menambah panjang derita rakyat.
Selama ini, upaya untuk memberikan kepastian hukum atas pemilikan tanah
rakyat masih belum optimal. Apalagi kepastian hukum dalam penyelesaian konflik
agraria yang sifatnya struktural dan legalisasi hak rakyat atas tanah-tanah obyek
reforma agrarian (TORA) masih belum dapat dijalankan seiring belum adanya
mekanisme dan kelembagaan yang khusus untuk menyelesaikan konflik dan
melaksanakan reforma agraria.
Tahap sosialisasi, sertifikasi untuk
aparat sampai tingkat yang berhadapan langsung dengan rakyat, butuh waktu tak
secepat proses hitung cepat pesta demokrasi. Aparat harus punya amunisi lahir
batin. Pendekatan aféksi, menjadi landasan kerja.
Pelaksanaan reforma agraria disesuaikan dengan tipologi desa, sehingga
menjadi: Desa Pertanian Sawah, Desa Hutan, Desa Perkebunan, Desa Pesisir, Desa
Peri-Urban, dan Desa Adat karena setiap desa memiliki kekhasan karakteristik ekosistem,
modal sosial dan kelembagaan, dan kekuatan produktif yang berbeda-beda. Hal ini
didasarkan pemikiran bahwa tidak ada “one magic recipe” atau “satu resep ampuh” untuk semua masalah. Karakteristik masalah setiap wilayah yang berbeda
memerlukan pendekatan yang berbeda dalam pelaksanaan reforma agraria. Meskipun
pada praktiknya, setiap tipologi harus menyesuaikan keadaan riil dari desa yang
menjadi lokasi reforma agraria dan pembangunan desa.
Pokoknya . . . [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar