Halaman

Minggu, 26 Mei 2019

ojo ngamar mbokdé Mukiyo, dudu ayo makar

ojo ngamar mbokdé Mukiyo, dudu ayo makar

Pariwara atraktif. Teh celup, begitu dicelupkan ke secangkir air panas, langsung berekasi. Hitungan detik, air memerah. Bukan pewarna buatan. Hanya sintetis atau senyawa kimia. Sengatan aroma irama uap panas mampu memperpendek selera teguk. Bersyukur tidak sekalian berisi pemanis.

Kopi instan dengan berat netto pakai ukuran gram. Mampu menyajikan secangkir atau segelas kopi manis. Berklas muncul buih, busa menandakan asal usul barang.

Kopi hitam tak kalah ‘hitam’ nasibnya. Aroma bubuk kopi seperti bau gosong. Mana yang asli. Yang bisa beberapa kali disedu atau sekali sedu. Hasil cicip cepat, belum ada laporan terekspose. Atau belum ada yang lapor bahwa kopi hitam merk tertentu, sedang jadi saksi bisik-bisik atau ujaran terang benderang. Patut masuk kategori makar. Walau kejadian perkara di kamar terbuka.

Pegawai yang datang sebelum jam kerja. Tapi masuk ruang kerja, setelah jam kerja. Datang dengan tampang lesu. Muka berkeringat dan bau kopi. Atau bibir tampak habis bekerja. Cerita klasik. Ybs datang langsung mampir ke warkop. Ketemu sesama senasib. Modal secangkir kopi pahit. Menghasilkan obrolan berliter-liter. Setengah sisa, minta tambah air panas. Babak final, tinggal ampas, minta gupas dan tuangan air mendidih.

Daya politik anak bangsa pribumi nusantara. Begitu terpancing isu ada bagi-bagi kursi. Libido langsung membara. Merasa dirinya paling mampu. Minimal apa kata leluhurnya. Rakyat sejak jadi rakyat, sudah terbiasa hidup seadanya. Jangan dipikirkan. Kalau dikasih hati akan nglunjak, nranyak atau malah sok njarag. Golek perkara. Biar diperhatikan.

Bapaknya saja bilang kalau dia anak cerdas. Walau tak ngopi barblas. Mosok orang lain tak mau mengakuinya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar