Korupsi dan Disparitas Penegakan Hukum
Pasal hukum di Indonesia, secara substansial, redaksional sudah teruji.
Tiap periode presiden, produk UU kian menambah ketajaman pedang hukum. Keampuhan
hukum mampu bertindak sebelum kejadian perkara. Misal, penerapan pasal anti
makar, proaktif terhadap rencana teror dan gerakan radikal, réprésif terhadap
kejahatan korporasi, maupun preventif atas tindak pidana korupsi (tipikor).
Jika terjadi proses tebang pilih, sekedar membuktikan bahwa hukum berjalan
bukan atas pasal yang dilanggar. tetapi lebih ke pihak atau siapa yang
berperkara. Artinya, proses hukum tergantung daya jual tersangka.
Jangan salah lupa. Kepekaan aparat penegak hukum sedemikian tanggap. Contoh
ringan, setiap laporan adanya aksi yang patut dicurigai mengarah, dianggap akan “merugikan negara”, langsung
diproses. Tapi harus berkaitan langsung dengan
wibawa negara. Semisal rencana makar, teror, aksi unjuk raga, unjuk rasa dan
jemur gigi.
Sesuai UUD NRI 1945 yang baru empat kali mengalamai perubahan. Tersurat dan
tersirat, kurang apa wewenang pihak penegak hukum. Apalagi mereka yang sebagai
ujung tombak, berhadapan langsung dengan rakyat. Ingat peringatan tertulis di
lingkungan RW/RT “tamu 24 jam wajib lapor”.
Episode tragedi “Cicak vs Buaya” tak bisa dianggap ada dualisme, duplikasi,
tumpang tindih atau adu kuat kewenangan antar penegak hukum. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar