Halaman

Sabtu, 25 Mei 2019

Korupsi dan Disparitas Penegakan Hukum


Korupsi dan Disparitas Penegakan Hukum

Pasal hukum di Indonesia, secara substansial, redaksional sudah teruji. Tiap periode presiden, produk UU kian menambah ketajaman pedang hukum. Keampuhan hukum mampu bertindak sebelum kejadian perkara. Misal, penerapan pasal anti makar, proaktif terhadap rencana teror dan gerakan radikal, réprésif terhadap kejahatan korporasi, maupun preventif atas tindak pidana korupsi (tipikor).

Jika terjadi proses tebang pilih, sekedar membuktikan bahwa hukum berjalan bukan atas pasal yang dilanggar. tetapi lebih ke pihak atau siapa yang berperkara. Artinya, proses hukum tergantung daya jual tersangka.

Jangan salah lupa. Kepekaan aparat penegak hukum sedemikian tanggap. Contoh ringan, setiap laporan adanya aksi yang patut dicurigai mengarah,  dianggap akan “merugikan negara”, langsung diproses.  Tapi harus berkaitan langsung dengan wibawa negara. Semisal rencana makar, teror, aksi unjuk raga, unjuk rasa dan jemur gigi.

Sesuai UUD NRI 1945 yang baru empat kali mengalamai perubahan. Tersurat dan tersirat, kurang apa wewenang pihak penegak hukum. Apalagi mereka yang sebagai ujung tombak, berhadapan langsung dengan rakyat. Ingat peringatan tertulis di lingkungan RW/RT “tamu 24 jam wajib lapor”.

Episode tragedi “Cicak vs Buaya” tak bisa dianggap ada dualisme, duplikasi, tumpang tindih atau adu kuat kewenangan antar penegak hukum.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar