Satunya Tawa Dengan Jiwa
Tawa dan atau tangis menjadi
pilihan. Masing-masing bisa diberlakukan secara mandiri, berdiri
sendiri-sendiri. Atau disatupadukan. Kombinasi sesuai asas keseimbangan. Coba
pakai cara pasangan ganda`campuran.
Pada kondisi yang sama, memang antara tawa dan tangis bergantian. Dilakukan
secara massal, menjadi paduan suara yang dinamis. Susah dibedakan mana tangis
adegan dan mana tawa formalitas. Mana tangis sukacita dengan mana tawa penawar
dukacita.
Islam menandaskan siapa yang banyak tawa, akan menipiskan kinerja hati. Menggerus
sehat jiwa, mengkikis tenang jiwa. Menggerogoti ketahanan batin. Apalagi sampai
terbahak-bahak plus mentertawakan kesuksesan diri. Tawa bangga sambil tepuk
dada. Kian menderu jika mampu mentertawakan nasib orang lain. Kian meraung,
mengaum sambil tunjuk hidung pihak yang kalah suara.
Tukang kocok perut, berupa pelawak, pembanyol, pendagel menjadi profesi
yang menggiurkan generasi tanpa batas umur dan ukuran gender. Dikembangbiakkan
oleh kawanan penyelenggara negara dari unsur partai politik. Pola memanipulasi
watak, merasa diri dizalimi, menjadi korban atau tak sesuai janji kampanye.
Jauh dari pasal konspirasi, skenario dengan investor politik makro.
Metamorfosis tawa diplomatis beda dengan tawa sinis bandar politik makro.
Aneka tawa lokal menghiasi aroma irama syahwat politik Nusantara. Tawa hambar
karena urat syaraf sudah main angka. Tawa getir karena merasa di posisi
pelengkap penderita. Tawa pahit karena hanya sebatas laksanakan
perintah tanpa berhak.
Dosis tawa penikmat jabatan lima tahunan, sudah menghabiskan cadangan
energi diri sejak dini. Di balik tawa terkandung nilai-nilai kegetiran jiwa,
kekosongan jiwa, kegundahan jiwa. Tiap pagi harus isi ulang hati, jiwa, rohani
untuk modal sehari.
Kapasitas spiritual ahli tawa, tak perlu diragukan. Urusan ybs. Jangan
sampai terpancing tawa tetangga. Jangan sampai termakan tawa ‘diplomatis’ kamar
sebelah. Beda kursi, beda tawa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar