tanggung jawab moral
rakyat pemilih wakil rakyat
Defacto dan dejure,
begitu usai celupkan kelingking ke tinta. Sebagai bukti telah mengunjungi TPS
sesuai undangan C6-kpu. Dianggap telah menggunakan hak pilih dengan benar,
baik, betul. Soal asas ‘luber’, soal rasa.
Pemilu serentak 17 April 2019, memang memilukan tapi apakah juga memalukan.
Ybs malah tak tahu. Demi memilah dan memilih wakil rakyat, wakil daerah dan
pasangan petugas partai. Tak ada yang gratis. Butuh makan korban jiwa, luka dan
trauma.
Wakil rakyat sesuai tingkatan daerah administrasi. Keterpilihan akibat
sadar politik rakyat sampai rasa iba akan nasib wakil rakyat. Berharap masih
ada yang bersih lingkungan. Ironisnya, saat kampanye tampak bersih muka, rapi
diri, santun kata.
Tentunya bukan sekedar akibat ongkos perkara, biaya politik, imbalan dan
imbangan kerjasama patut tak terduga. Politik berbayar di muka, bak lebih besar
pasak daripada tiang. Belum belanja sudah ditodong biaya jasa pihak yang
mencarikan kursi dekat jendela.
Pasca atau usai mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, langsung argo
politik wakil rakyat melonjak kegirangan. Kalkulasi politik tidak sampai satu
bulan, sudah dapat menentukan nasib ke depan. Kwartal pertama aman, jebakan dan
jeratan masih menanti dengan setia. Semester pertama lolos dengan sport
jantung. Pembiaran agar mudah digethok.
Seolah antara rakyat pemilih dengan wakil rakyat, langsung putus hubungan.
Wakil rakyat bukannya jalan sendiri. Berjalan di jalur sesuai rambu-rambu
politik yang dikeluarkan parpol ybs. Kebutuhan rakyat sudah ditampung,
diwadahi. Cuma kalah format dengan kepentingan politik. Kontrak politik sebagai
bukti kebijakan partai sebagai payung hukum dan landasan operasional.
Pengalaman rakyat untuk memperjuangkan nasib sendiri. Siap-siap terkena
pasal makar. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar