makar, bahan galian
bumi Nusantara atau
Kejahatan politik, penyakit politik, politik kambuhan maupun olok-olok
politik, rasanya tak dimiliki oleh negara berperadaban. Politik berbasis
kerakyatan, mengutamakan dan
mengedepankan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa.
Setiap presiden, periode pemerintah selalu diiiringi tindak oposisi, makar
terselubung. Alergi dengan kritik, dipastikan akan dimunculkan pasal makar
sebagai tandingan. Rasa percaya diri pas-pasan menjadikan pemerintah merasa tak
yakin diri. Bukannya hukum tak tegak. Kepastian hukum sudah bisa “dipastikan”
untuk siapa.
Gerakan politik berbasis ‘nasakom’ di zaman Orde Lama. Muncul anak emas
atau bentuk lain pembiaran ‘pemerahan’ ibu Pertiwi. Kian menor. Sisi lain,
memunculkan klas OKB (orang kaya baru). Sinyalemen leluhur, ujaran standar,
bahwa tak mungkin lahir pemimpin yang tanpa modal keringat.
Penguasa tunggal Orde Baru, menjadikan golkar sebagai kendaraan politik.
Pencerahan politik dengan proyek kuningisasi sampai tingat desa. Format
‘nasakom’ direduksi menjadi Golkar, PPP dan PDI, sejak 1975.
Reformasi yang bergulir, meluncur deras mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998.
Kalimat pertama di alenia pertama. Jelas menyuratkan dan menyiratkan. Mau apa
lagi. apa lagi mau. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar