terseraknya sebutir telur ayam balado
Disebut menggelinding, sudah pada posisi parkir. Dibilang seonggok, cuma
satu butir. Tergeletak sendirian tanpa teman, juga tidak. Masih didampingi
wadah strereofoam dan ceceran nasi kebuli. Di pinggir lapangan depan Balai
Warga RW 06 sebuah perumahan KPR-BTN.
Dilacak tanpa pengendusan cepat. Masjid yang berjarak beberapa ratus
langkah dari Balai Warga. Tiap usai sholat jum’at menyedikan makan siang, pakai
istilah free lunch. Sesuai makna atau tidak. Lantai kedua penuh jamaah
anak didik atau yang seusia.
Menu sesuai sponsor. Dibagikan di halaman masjid untuk umum dan anak-anak. Begitu
salam ke kanan, tanpa aba-aba jamaah anak-anak langsung ngacir bebas. Takut tidak
kebagian.
Di ruang sekretariat DKM, disediakan menu yang sama. Sistem jatah atau catu
beberapa piring. Makan sambil ngobrol bareng khatib jumat. Meja kerja merangka
meja makan. Sepertinya, penikmat dominan langganan atau itu-itu saja. Tentunya masuk
kategori manula. Makan secukupnya, tak pakai tambah. Perlu minum agak tak
seret.
Namanya saja anak manusia. begitu dapat jatah, langsung makan di tempat. Sesama
komunitas sekolah atau remaja masjid. Di bawa keluar, makan sambil jalan. Termasuk
yang nongkrong di lapangan RW 06. Sekedar nikmat berebut. Perut masih kenyang. Atau menu tak sesuai klasnya.
Makan tak ludes. Terjadilah sesuai judul.
Usai acara ikut santap siap. Balik ke rumah, liwat jalan berbeda. Salah satu
alternatif liwat lapangan tempat sumber inspirasi menulis. Bayangkan, betapa
doeloe zaman SR/SD penulis, makan telur ayam satu butir utuh. Termasuk mewah. Tidak
tidak tiap hari. Itu pun telur rebus. Matang
bareng tanak nasi.
Sekarang, zaman multipartai, telur ayam di pasar tradisional bisa menggelinding bebas.
Tak mungkin digudangkan atau ditimbun. Kalau benar-benar dipetieskan, biar
awet. Kemungkinan ayam betina mogok bertelur. Lihat dulu partainya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar