Halaman

Sabtu, 04 Mei 2019

terseraknya sebutir telur ayam balado


terseraknya sebutir telur ayam balado

Disebut menggelinding, sudah pada posisi parkir. Dibilang seonggok, cuma satu butir. Tergeletak sendirian tanpa teman, juga tidak. Masih didampingi wadah strereofoam dan ceceran nasi kebuli. Di pinggir lapangan depan Balai Warga RW 06 sebuah perumahan KPR-BTN.

Dilacak tanpa pengendusan cepat. Masjid yang berjarak beberapa ratus langkah dari Balai Warga. Tiap usai sholat jum’at menyedikan makan siang, pakai istilah free lunch. Sesuai makna atau tidak. Lantai kedua penuh jamaah anak didik atau yang seusia.

Menu sesuai sponsor. Dibagikan di halaman masjid untuk umum dan anak-anak. Begitu salam ke kanan, tanpa aba-aba jamaah anak-anak langsung ngacir bebas. Takut tidak kebagian.

Di ruang sekretariat DKM, disediakan menu yang sama. Sistem jatah atau catu beberapa piring. Makan sambil ngobrol bareng khatib jumat. Meja kerja merangka meja makan. Sepertinya, penikmat dominan langganan atau itu-itu saja. Tentunya masuk kategori manula. Makan secukupnya, tak pakai tambah. Perlu minum agak tak seret.

Namanya saja anak manusia. begitu dapat jatah, langsung makan di tempat. Sesama komunitas sekolah atau remaja masjid. Di bawa keluar, makan sambil jalan. Termasuk yang nongkrong di lapangan RW 06. Sekedar nikmat berebut. Perut masih kenyang. Atau menu tak sesuai klasnya. Makan tak ludes. Terjadilah sesuai judul.

Usai acara ikut santap siap. Balik ke rumah, liwat jalan berbeda. Salah satu alternatif liwat lapangan tempat sumber inspirasi menulis. Bayangkan, betapa doeloe zaman SR/SD penulis, makan telur ayam satu butir utuh. Termasuk mewah. Tidak tidak tiap hari. Itu pun telur  rebus. Matang bareng tanak nasi.

Sekarang, zaman multipartai, telur ayam  di pasar tradisional bisa menggelinding bebas. Tak mungkin digudangkan atau ditimbun. Kalau benar-benar dipetieskan, biar awet. Kemungkinan ayam betina mogok bertelur. Lihat dulu partainya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar