praktik demokrasi
Nusantara vs makar terselubung
Adalah manusia sipil, manusia sosial Nusantara berpolitik. Tentu tak ada
hubungan kerakyatan dengan pola politik umat Islam tradisional. Jangan sebut
masih ada Islam abangan. Ironis binti miris, sosok ulama dijadikan komoditas
politik oleh penguasa.
“Pancasila Sakti” di era rezim jenderal tanpa partai politik, menghadirkan
sebutan ‘teori tanpa praktik’. Kebanyakan, sarat, bernas aneka teori Pancasila
dari semua aspek. Praktik tinggal praktik. Dibuktikan dengan sertifikat
penataran, in-doktrin-asi atau sebutan lainnya.
Peran, posisi politik di era refromasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei
1998, kian dogmatis. Rembesan jargon ‘politik sebagai panglima’, semboyan
‘tujuan menghalalkan segala cara’, moto ‘pokoké menang’ diperkuat per periode atau per presiden.
Lagu lawas ‘politik sebagai agama dunia’ melahirkan mental kebijakan partai di
atas segala-galanya. Laksanakan atau keluar dari NKRI. Oknum ketua umum
penyandang hak prerogatif agar tampak wibawa diri.
Simak betapa penguasa tunggal Orde Baru berkat menjadikan Golkar sebagai
kendaraan politik. Gejala lawas yang diperbarui. Partai politik sebagai model
kapitalis untuk berburu berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa). Langkah praktis
– yang melahirkan citra politik praktis – cukup dengan mengabaikan nilai moral
dan melalaikan kaidah spiritual. Kepentingan partai menjadi tolok ukur utama.
Kontradiktif demokrasi bangsa pribumi. Kawanan berpolitik Nusantara,
mempertajam daya ingat masa lampau untuk galau, gamang, gagap melangkah mengisi masa depan. Beriringan dengan
modus menjauhi konco dw, bolo dw yang sudah tidak mampu ber-KKN berbagi hasil meraup keuntungan praktis, pragmatis.
Laga ulang pilpres Rabu, 17 April 2019, kian membuktikan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar