mendoakan
Nusantara mbokdé mukiyo, bukan menduakan
Ujaran patih Sengkuni menyuratkan dan sekaligus menyiratkan adanya modus
tim sukses untuk mendongkrak wibawa, membangun citra pesona raja besar bagi
Kerajaan Astinapura. Terukur kekuatan
militer, banyaknya tentara, loyalitas total kader partai, dukungan mesin
politik atau koalisi parpol pro-kerajaan dan kesetiaan rakyat.
Kelicikan Sengkuni – dioplos dari berbagai versi ramuan – selain bakat
bawaan yaitu ahli strategi dan licik.
Bentuk lain dari anak cucu ideologis. Sibuk membangun citra penguasa
tanpa periode, dengan agenda propaganda, aksi promosi, atraksi provokasi. Sibuk
diri menjaga eksisitensi, loyalitas,
daya jangkau mesin politik.
Langkah mendasar penguasa dengan merekayasa pemilihan kepala desa. Jangan
sampai elite lokal, tokoh masyarakat tumbuh berkembang dari bawah. Modus apapun
dilakukan, agar kepemimpinan desa tetap jatuh pada kader dari mesin politik.
Artinya membangun kekuasaan konstitusional dari desa. Mirip politik massa
mengambang atau istilah lainnya. Partai politik tertentu yang berhak masuk ke
desa/kelurahan.
Akal Sengkuni jauh di atas rata-rata akal politisi sipil. Kinerja nyata
bekerja sama dengan pengusaha lokal kerajaan untuk memperlama jabatan sebagai
patih. Kendati Raja Astinapura adalah keponakannya. Bukan jaminan jabatan patih
akan langgeng di tangannya.
Guru olahraga, pelatih panahan dan ahli silat lidah pendeta Durno, jelas
ada main politik. Lebih dari itu. Ybs tahu penyakit politik atau kutukan
politik. Wong licik matinya karena kelicikannya. Atau selama hidupnya akan
diliciki oleh wong yang lebih licik. Hukum alam.
Maka daripada itu, seyogyanya sudah acap terjadi pemerintah bipolar. Antara
kepentingan penguasa dengan kebutuhan rakyat, bak dua kutub. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar