Halaman

Jumat, 03 Mei 2019

mendoakan Nusantara mbokdé mukiyo, bukan menduakan


mendoakan Nusantara mbokdé mukiyo, bukan menduakan


Ujaran patih Sengkuni menyuratkan dan sekaligus menyiratkan adanya modus tim sukses untuk mendongkrak wibawa, membangun citra pesona raja besar bagi Kerajaan Astinapura.  Terukur kekuatan militer, banyaknya tentara, loyalitas total kader partai, dukungan mesin politik atau koalisi parpol pro-kerajaan dan kesetiaan rakyat.

Kelicikan Sengkuni – dioplos dari berbagai versi ramuan – selain bakat bawaan yaitu ahli strategi dan licik.  Bentuk lain dari anak cucu ideologis. Sibuk membangun citra penguasa tanpa periode, dengan agenda propaganda, aksi promosi, atraksi provokasi. Sibuk diri menjaga eksisitensi,  loyalitas, daya jangkau mesin politik.

Langkah mendasar penguasa dengan merekayasa pemilihan kepala desa. Jangan sampai elite lokal, tokoh masyarakat tumbuh berkembang dari bawah. Modus apapun dilakukan, agar kepemimpinan desa tetap jatuh pada kader dari mesin politik.

Artinya membangun kekuasaan konstitusional dari desa. Mirip politik massa mengambang atau istilah lainnya. Partai politik tertentu yang berhak masuk ke desa/kelurahan.

Akal Sengkuni jauh di atas rata-rata akal politisi sipil. Kinerja nyata bekerja sama dengan pengusaha lokal kerajaan untuk memperlama jabatan sebagai patih. Kendati Raja Astinapura adalah keponakannya. Bukan jaminan jabatan patih akan langgeng di tangannya.

Guru olahraga, pelatih panahan dan ahli silat lidah pendeta Durno, jelas ada main politik. Lebih dari itu. Ybs tahu penyakit politik atau kutukan politik. Wong licik matinya karena kelicikannya. Atau selama hidupnya akan diliciki oleh wong yang lebih licik. Hukum alam.

Maka daripada itu, seyogyanya sudah acap terjadi pemerintah bipolar. Antara kepentingan penguasa dengan kebutuhan rakyat, bak dua kutub. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar