sesekalinya sarungan
ke masjid, pensiunan pejabat kesrimpet kejengkang
Justru dari mulut ybs. Sosok yang sudah diakrabi di lingkungan tempat
tinggal kami. Usianya setahun lebih tua di atas NKRI. Kelahiran tahun 1944. Penyandang
S1 Hukum UI dan S1 Psikologi UI. Saking lamanya, ybs lupa menteri siapa yang
melantiknya jadi pejabat di Departemen Hukum. Termasuk angkatan berapa di UI. Apalagi
dua fakultas yang berbeda, kuliah pada periode yang sama.
Agaknya, sudah ada beberapa olahkata yang saya tayangkan. Terkait ikhwal
beliau. Ciri utama, fisik masih tampak sehat. Acap jalan kaki gemulai. Model jalan
kaki bak pejabat inspeksi bawahan. Ada yang bilang, gaya germo inspeksi anak
asuh. Siap terima tamu. Semua komentar tentang beliau, banyak benarnya.
Bahkan remaja seusia cucunya. Menjadikan karakter beliau sebagai tema
gojegan. Apalagi bapak-bapak pada acara kumpul bareng. Tepatnya, jika ada
kumpul santai. Ybs santai datang dengan gaya tangan di silang di belakang. Dipastikan,
kerumunan bubar pelan-pelan. Ngelés alias menghindar.
Warga sudah hafal apa yang mau diberitakan, diceritakan. Dari Side A ke
Side B. Belum selesai Side A, balik ke awal. Ada warga iseng melempar
pertanyaan. Saat ybs berapi-api memaparkan diiringi bahasa tubuh, warga asyik
ngobrol sendiri.
Suatu ketika, entah kapan ketika itu. Saya jalan cepat. Mimpi apa malah sua
beliau. Saya sapa dan ajak salaman. Wajah sedih ditongolkan plus bangga buka
mulut.
“Jumat kemarin, saya ke masjid. Duduk di shaf belakang karena kedahuluan
jamaah yang datang sebelum azan.”, ujar bebasnya tanpa ditanya, diminta. Dilengkapi
dengan peragaan tangan. Saya tak merespon, hanya senyum maklum. Wajahnya menunjukkan
keseriusan yang mendalam. Sesuai batasan usai yang disandangnya.
Merasa obrolannya didengar. Tambah semangat.
“Pas mau berdiri. Kaki saya kesrimpet sarung. Kejengkang,” sambil bangga mencontohkan
kejadian aslinya.
Agar tampak sebagai ahli masjid, dengan gaya selidik bertanya: “Saya tak
melihat bapak . . . “
Perlu diketahui. Ybs kalau jalan kaki acap pakai celana pendek. Biar dikira
atlet. Plus jersey kesebelasan mana. Sambil ngomel sendiri, beliau menggerutui
diri sendiri.
Hebatnya. Jika lama tak sua beliau, karena beda jalan kebenaran. Pas sua
lagi, dengan bangga membeberkan pengalaman di atas. Akhirnya, setelah itu,
beliau kalau sholat terpaksa duduk di kursi. Tak bisa ke masjid seperti
biasanya.
Ingat olahkata saya. Bahwa beliau sebagai pejabat, banyak amal pahala. Ke masjid
cuma liwat karena sedang “inspeksi” lingkungan. Alasannya, dia pilih ke mushola
terdekat. Beberapa blok depan rumahnya. Jama’ah mushola dimaksud, bilang beliau
walau diajak. Jawabannya standar, klise dan rutin: “Duluan, nanti saya
menyusul.”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar