mentalitas budak
(inferior) anak bangsa pribumi tulen
Mentalitas budak (inferior) menjadikan bangsa ini merasa aman, nyaman di
bawah ketiak bangsa lain. Di dalam negeri, kalah pamor dengan kaum bangsa yang
secara historis akrab dengan penjajah Belanda. Secara budaya gampang mengekor
bangsa lain. Cuma karena beda warna
kulit dan bentuk hidung. Ironis binti miris, pada saat yang sama sulit mencerna
beda selera pilihan. Apalagi menerima
keunggulan sesama warga tapi beda kamar.
Betul. Alenia pertama masih beum utuh bulat menggambarkan mental
peninggalan penjajah. Pihak lain menyuratkan dan sekaligus menyiratkan.
Mentalitas feodalistis masih menjalar bebas kian kemari. Terfasilitasi oleh
praktik demokrasi. Merasa sebagai anak cucu ideologis. Ideologi tak ada mati
dantak kenal rasa kapok.
Hebatnya lagi kawan. Mental feodal yang berasas mégatéga mengatasnamakan
derita rakyat. Modal wajah merasa terzalimi, dengan gaya santai menggurita
berdaya tekan ke bawah. Daya hisap dan keruk apa saja. Sekaligus mampu memanipulasi
watak menampilkan mentalitas budak, terbungkuk-bungkuk tertunduk-tunduk di hadapan investor politik.
Revolusi mental 2014-2019 salah sasaran. Mentalitas berdikari, berdaulat,
dan berkepribadian yang wajib dimiliki penguasa, malah terabaikan, terlalaikan
secara menerus, sistematis. Bukan bukti yang meringankan bahwasanya tahun
politik 2018 dan 2019 melahirkan generasi ahli olok-olok politik.
Dikatakan jika kuasa politik memberikan hak dan kedudukan istimewa kepada
manusia politik. Sekalian menginferiorkan
manusia sosial. Juag tidak. Praktik demokrasi Nusantara, menunjukkan dominasi
manusia ekonomi (baca: pengusaha).
Akhirnya kendaraan politik tidak hanya menghantarkan presiden kedua RI
mampu mengemban amanah MPR atas kehendak rakyat. Maka daripada itu, pengusaha
mendirikan bentukan partai politik bukan tanpa pamrih. Parpol yang dibentuk,
ternyata tak bertaring. Dikandang asalnya saja tak bertaji.
Jadi apa kata rakyat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar