Dilema Artis, Jeratan Narkoba vs Jebakan Politik Praktis
Kalau tak pandai-pandai, maka nasib seorang artis bak numpang liwat. Tidak ada
jaminan jabatan artis bisa dilakoni sampai penggemar bosan. Industri yang membutuhkan jasa artis, bak
partai politik jelang pemilu. Artis bisa mulai dari nol, merintis dari papan
bawah. Tak kurang yang dadakan. Nyaris tanpa cita-cita, tanpa keringat atau bebas
perjuangan.
Banyak pihak yang teribat mengorbitkan. Sebanyak itu pula pihak yang
mengincar. Termasuk, rahasia umum kalau ada artis yang ‘dikontrak’ untuk
melakoni skenario atau di bawah kendali konspirasi global. Bagi artis yang
tampak bermain cantik, aman-aman saja, bukan berarti posisinya stabil.
Untuk menjaga stabilitas, seorang artis butuh sponsor. Bak olahragawan.
Agar bisa rutin ikut turnamen, kompetisi menaikkan peringkat. Merebut gelar
juara, sebagai proses. Mempertahankan, lebih sulit. Butuh proses yang tak
ringan.
Indonesia sebagai negara multipartai, multipilot membuat pemilik atau
pemegang saham partai politik, ekstra putar otak. Bentukan sebuah parpol masih
di atas kertas, argo biaya politik, ongkos politik berdetak laju tanpa
kompromi.
Lepas dari definisi bebas tentang politik praktis. Bagian integral dari
praktik demokrasi. Jiwa dari penyakit politik, borok politik peninggalan
penjajah maupun periode pasca Proklamasi. Parpol juara umum pemilu legislatif,
berniat menyabet semua kursi ketua. Mengajukan nama bakal caleg. Kader
terbatas. Merekrut pihak yang bisa menghidupi partai sampai pihak yang mampu
mendongkrak suara. Kalangan artis, khususnya yang kondhang, beken, tenar –
punya penggemar – menjadi sasaran.
Terlebih ambisi artis yang ingin tetap eksis atau meningkatkan peringkat,
derajat kehidupan. Terjadilah simbiosis mutualisme, kompromi untuk saling
menguntungkan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar