Halaman

Minggu, 19 Mei 2019

Dilema Artis, Jeratan Narkoba vs Jebakan Politik Praktis


Dilema Artis, Jeratan Narkoba vs Jebakan Politik Praktis

Kalau tak pandai-pandai, maka nasib seorang artis bak numpang liwat. Tidak ada jaminan jabatan artis bisa dilakoni sampai penggemar bosan.  Industri yang membutuhkan jasa artis, bak partai politik jelang pemilu. Artis bisa mulai dari nol, merintis dari papan bawah. Tak kurang yang dadakan. Nyaris tanpa cita-cita, tanpa keringat atau bebas perjuangan.

Banyak pihak yang teribat mengorbitkan. Sebanyak itu pula pihak yang mengincar. Termasuk, rahasia umum kalau ada artis yang ‘dikontrak’ untuk melakoni skenario atau di bawah kendali konspirasi global. Bagi artis yang tampak bermain cantik, aman-aman saja, bukan berarti posisinya stabil.

Untuk menjaga stabilitas, seorang artis butuh sponsor. Bak olahragawan. Agar bisa rutin ikut turnamen, kompetisi menaikkan peringkat. Merebut gelar juara, sebagai proses. Mempertahankan, lebih sulit. Butuh proses yang tak ringan.

Indonesia sebagai negara multipartai, multipilot membuat pemilik atau pemegang saham partai politik, ekstra putar otak. Bentukan sebuah parpol masih di atas kertas, argo biaya politik, ongkos politik berdetak laju tanpa kompromi.

Lepas dari definisi bebas tentang politik praktis. Bagian integral dari praktik demokrasi. Jiwa dari penyakit politik, borok politik peninggalan penjajah maupun periode pasca Proklamasi. Parpol juara umum pemilu legislatif, berniat menyabet semua kursi ketua. Mengajukan nama bakal caleg. Kader terbatas. Merekrut pihak yang bisa menghidupi partai sampai pihak yang mampu mendongkrak suara. Kalangan artis, khususnya yang kondhang, beken, tenar – punya penggemar –  menjadi sasaran.

Terlebih ambisi artis yang ingin tetap eksis atau meningkatkan peringkat, derajat kehidupan. Terjadilah simbiosis mutualisme, kompromi untuk saling menguntungkan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar