demokrasi Nusantara, gebug duluan, rembug belakangan
Gaya seorang presiden tak lepas dari nyali diri. Atau sebagai pernyataan
sikap diri tak bisa diremehkan. Tak mau dipandang sebelah mata. Sebagai
peringatan dini bagi lawan politik, pihak yang berseberangan. Termasuk sinyal
yang tak tahu terima kasih.
Presiden yang pernah kita punyai, mempunyai karakter unjuk diri yang
menunjukkan benang merah. Sepatutnya dilakukan untuk membetengi diri.
Mendeklarasikan diri atau sekedar mengingatkan berulang “siapa aku”.
Bagaimana perwatakan “jaga diri” sang presiden RI. Banyak pihak sudah kupas
terkelupas. Tak ada celah yang tak terdeteksi. Kawanan awak media, tergantung
kode etik jurnalistik, ada yang sekedar atau menjadi komoditas politik.
Sedemikian karakter presiden, khususnya jaga wibawa di dalam negeri. Soal
nama besar di pasar dunia, pakai taktik politik bebas aktif. Tak harus tampil
di setiap ajang adu martabat. Pakai pasal gaya diplomatis ‘diam adalah emas’.
Artinya, diam tanda cemas.
Kian banyak kawanan loyalis abal-abal, berbanding lurus dengan beban derita
jiwa, mental, psikis petugas partai. Menu hari ini tergantung kebijakan partai
pendukung utama. Agar tampak masih bernyali, undang wong cilik ke istana
presiden. Umbar senyum dan terkekeh sendiri.
Jadi, esensi lema ‘gebug’ dan ‘rembug’, pakai bahasa Jawa. Kalau sudah
begini, hatrus liwat kajian akademis. Untuk menghindari bias kata atau malah
menjadi ajang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar