Halaman

Selasa, 07 Mei 2019

demokrasi Nusantara, gebug duluan, rembug belakangan


demokrasi Nusantara, gebug duluan, rembug belakangan

Gaya seorang presiden tak lepas dari nyali diri. Atau sebagai pernyataan sikap diri tak bisa diremehkan. Tak mau dipandang sebelah mata. Sebagai peringatan dini bagi lawan politik, pihak yang berseberangan. Termasuk sinyal yang tak tahu terima kasih.

Presiden yang pernah kita punyai, mempunyai karakter unjuk diri yang menunjukkan benang merah. Sepatutnya dilakukan untuk membetengi diri. Mendeklarasikan diri atau sekedar mengingatkan berulang “siapa aku”.

Bagaimana perwatakan “jaga diri” sang presiden RI. Banyak pihak sudah kupas terkelupas. Tak ada celah yang tak terdeteksi. Kawanan awak media, tergantung kode etik jurnalistik, ada yang sekedar atau menjadi komoditas politik.

Sedemikian karakter presiden, khususnya jaga wibawa di dalam negeri. Soal nama besar di pasar dunia, pakai taktik politik bebas aktif. Tak harus tampil di setiap ajang adu martabat. Pakai pasal gaya diplomatis ‘diam adalah emas’. Artinya, diam tanda cemas.

Kian banyak kawanan loyalis abal-abal, berbanding lurus dengan beban derita jiwa, mental, psikis petugas partai. Menu hari ini tergantung kebijakan partai pendukung utama. Agar tampak masih bernyali, undang wong cilik ke istana presiden. Umbar senyum dan terkekeh sendiri.

Jadi, esensi lema ‘gebug’ dan ‘rembug’, pakai bahasa Jawa. Kalau sudah begini, hatrus liwat kajian akademis. Untuk menghindari bias kata atau malah menjadi ajang.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar