Halaman

Minggu, 26 Mei 2019

nusantara kian sarat beban demokrasi abal-abal


nusantara kian sarat beban demokrasi abal-abal

Memang belum pernah terjadi. Bahkan di angan-angan pun tak pernah muncul. Bedanya pada warna. Si kolor hitam dan si kolor putih. Celana pendek kolor, hanya sampai bawah lutut (celana komprang, semacam celana pangsi) atau berhenti di atas lutut.

Pemakainya pada umumnya kaum hawa, lanang. Lepas dari norma batas kemaluan lelaki. Untuk sholat tinggal dilengkapi sarung. Busana kerja petani, kolor hitam komprang. Pakaian adat serba hitam. Pesilat. Sabuk lebar serba guna. Tempat menyelipkan golok. Sarung dicangklong, dislempangkan di bahu.

Kolor putih bukan untuk main lumpur. Seragam lengkap dengan kaos oblong putih, tudung kepala putih. Bukan berarti tak siap mandi peluh. Anti-keringat. Celana serba guna. Komprang putih. Hindari pakai singlet. Sebagai identitas haji. Cara duduk tak boleh sembarangan. Tak bebas jagongan. Bebas paparan asap rokok.

Asas penebar, penabur berita serba kabar. Kolor ijo tenar punya nama beken. Masuk koran atau ujaran bebas di layar kaca. Kejadian perkara musiman. Macam begal motor. Bukan bahaya latén, pihak berwajib seolah tak mau tahu. Laporan masuk sebagai informasi, dicatat. Biaya operasi menjadi klasik.

Ironis binti tragis. Barisan kolor ijo atau oknum kolor ijo sedang berujar liwat medsos. Ada pihak merasa tercemar namanya. Tidak disebut sebagai pihak penggagas. Bukti berbasis TIK. ITE cukup alasan pihak penerima laporan untuk ‘main polisi sendiri’. Kejahatan kerah putih. Semangkin terbungkuk-bungkuk membawa pedang keadilan. Sekedar pengayom. Siap tebang pilih. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar