Halaman

Jumat, 03 Mei 2019

pendidikan politik Nusantara vs gagal cerdas ideologi


pendidikan politik Nusantara vs gagal cerdas ideologi

Produk unggulan mental dan budaya politik Nusantara cukup meyakinkan investor politik, yaitu olok-olok politik. Pelakunya bukan sekedar berpikiran dangkal, spontas, picik. Malah masuk kuadran ‘tanpa risiko’ – ‘tak pakai mikir’.

Bermula dari ujaran kebencian. Menjadi pemacu dan pemicu buka mukut sembarang tempat. Asal berasaskan sanjung penguasa, maka aman. Bagian nyata sederhana dari agenda propaganda, aksi promosi, atraksi provokasi.

Mulai dari judul olahkata “cerdas ideologi vs pikun politik”. Semangkin lama, kian tinggi manusia politik menentukan nasibnya, maka akan berbanding lurus dengan pertambahan daya pikun politiknya. Ironis binti miris, tak téga jika kursi dipakai oleh bukan kelompoknya. Makanya, langkah politiknya serba mégatéga. Mulai serigala berbulu domba. Serigala mengelus-elus buaya. Semua modus, rekayasa, manipulasi  menjadi konstitusional.

Ternyata, dalam satu periode atau waktu lima tahun, daya pikir, gaya akal, pola nalar oknum kawanan parpolis, malah bisa kembali ke posisi awal. Ke titik nol. Atau bahkan ke titik minus. Ini kan namanya pikun politik. Bukan. Menunggu angin baik dari skenario politik makro.

Masuk ke judul olah kata “dilema cerdas ideologi, akrobat politik vs manipulasi diri”. Wajar jika di éra mégatéga, mégakasus, mégabencana. Pihak yang ingin “menggunting dalam lipatan”, melibas dari pusat  datangnya bukan dari lawan politik, kamar sebelah. Justru datang dari kawan bermain Jokowi. Konco dw, bolo dw. Daya tarik kabinet kerja periode 2014-2019, menjadi semacam bola liar, bola panas yang diperebutkan semua pihak. Kesemuanya ini memang efek domino dari negara multipartai.

Langkah ketiga, simak judul olah kata “cerdas korup, parpol tempat berguru”. Lepas dari fakta, asumsi cepat sejarah peradaban, pihak mana atau siapa saja pelaku korup di Nusantara. Tak salah, kalau petugas partai atau manusia politik mendominasinya. Dasar negara Pancasila seolah memberi peluang peseteruan “Buaya vs Cicak”. Bukti ringan berisi budaya korup bagian integral budaya politik.

Lepas dari fakta, pihak mana atau siapa saja pelaku korup di Nusantara. Tak salah, kalau petugas partai atau manusia politik mendominasinya. Dasar negara Pancasila seolah memberi peluang peseteruan Buaya vs Cicak, tetap marak antar periode pemerintah.

Tahap keempat, kilas balik judul olahkata” Cerdas Ideologi vs Praktik Demokrasi”. Praktik demokrasi menghasilkan dalil: kedaulatan ada di tangan juara umum pesta demokrasi, bukan tanpa efek domino. Diperkuat dengan tindak laku garang garing penyelenggara negara untuk membuktikan kadar loyalitasnya, sekaligus unjuk gigi. 

Upaya kelima, terakhir tapi belum berakhir. Buka sejanak judul olahkata “harga mati NKRI darurat cerdas ideologi”.  Urusan negara percayakan kepada ahlinya. Jelas, tak ada hubungan diplomatis dengan ulah orang idiot. Idiot politik bukan lawan kata dari cerdas ideologi. Mungkin, atau ada sinyelemen lain dari pembaca.

Lebih beruntung yang buta politik tetapi cerdas diri.

Bonus bagi yang sempat masuk ke keenam. Ada eloknya baca cepat judul “olahkata dikotomi golput 2019, melek politik vs cerdas ideologi”. Omong-omong. Kemuakan rakyat yang selama ini terpinggirkan secara akurat. Membuat pilihan berganda. Apa itu atau itu apa.

Faktor pengalaman akan menentukan pilihan pasangan capresdan cawapres. Asumsi nalar, capres 01 dimungkinkan akan mendulang suara rata-rata nasional di atas kuota menang. Kehendak anak bangsa berstatus milenial terjadi regenerasi. Oleh karena itu cawapres 02 akan menjadi pilihan utama.

Seterusnya terserah keresahan pembaca. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar