pendidikan politik Nusantara vs gagal cerdas ideologi
Produk unggulan mental dan budaya politik Nusantara cukup meyakinkan
investor politik, yaitu olok-olok politik. Pelakunya bukan sekedar berpikiran
dangkal, spontas, picik. Malah masuk kuadran ‘tanpa risiko’ – ‘tak pakai mikir’.
Bermula dari ujaran kebencian. Menjadi pemacu dan pemicu buka mukut
sembarang tempat. Asal berasaskan sanjung penguasa, maka aman. Bagian nyata sederhana
dari agenda propaganda, aksi promosi, atraksi provokasi.
Mulai dari judul olahkata “cerdas ideologi vs pikun politik”. Semangkin
lama, kian tinggi manusia politik menentukan nasibnya, maka akan berbanding
lurus dengan pertambahan daya pikun politiknya. Ironis binti miris, tak téga
jika kursi dipakai oleh bukan kelompoknya. Makanya, langkah politiknya serba
mégatéga. Mulai serigala berbulu domba. Serigala mengelus-elus buaya. Semua
modus, rekayasa, manipulasi menjadi
konstitusional.
Ternyata, dalam satu periode atau waktu lima tahun, daya pikir, gaya akal,
pola nalar oknum kawanan parpolis, malah bisa kembali ke posisi awal. Ke titik
nol. Atau bahkan ke titik minus. Ini kan namanya pikun politik. Bukan. Menunggu
angin baik dari skenario politik makro.
Masuk ke judul olah kata “dilema cerdas ideologi, akrobat politik vs
manipulasi diri”. Wajar jika di éra mégatéga, mégakasus, mégabencana. Pihak yang ingin “menggunting
dalam lipatan”, melibas dari pusat datangnya bukan dari lawan politik, kamar
sebelah. Justru datang dari kawan bermain Jokowi. Konco dw, bolo dw. Daya tarik
kabinet kerja periode 2014-2019, menjadi semacam bola liar, bola panas yang
diperebutkan semua pihak. Kesemuanya ini memang efek domino dari negara
multipartai.
Langkah ketiga, simak judul olah kata “cerdas korup, parpol tempat
berguru”. Lepas dari fakta, asumsi cepat sejarah peradaban, pihak mana atau
siapa saja pelaku korup di Nusantara. Tak salah, kalau petugas partai atau
manusia politik mendominasinya. Dasar negara Pancasila seolah memberi peluang
peseteruan “Buaya vs Cicak”. Bukti ringan berisi budaya korup bagian integral
budaya politik.
Lepas dari fakta, pihak mana atau siapa saja pelaku korup di Nusantara. Tak
salah, kalau petugas partai atau manusia politik mendominasinya. Dasar negara
Pancasila seolah memberi peluang peseteruan Buaya vs Cicak, tetap marak antar
periode pemerintah.
Tahap keempat, kilas balik judul olahkata” Cerdas Ideologi vs Praktik
Demokrasi”. Praktik demokrasi menghasilkan dalil: kedaulatan ada di tangan
juara umum pesta demokrasi, bukan tanpa efek domino. Diperkuat dengan tindak
laku garang garing penyelenggara negara untuk membuktikan kadar loyalitasnya,
sekaligus unjuk gigi.
Upaya kelima, terakhir tapi belum berakhir. Buka sejanak judul olahkata “harga
mati NKRI darurat cerdas ideologi”. Urusan
negara percayakan kepada ahlinya. Jelas, tak ada hubungan diplomatis dengan
ulah orang idiot. Idiot politik bukan lawan kata dari cerdas ideologi. Mungkin,
atau ada sinyelemen lain dari pembaca.
Lebih beruntung yang buta politik tetapi cerdas diri.
Bonus bagi yang sempat masuk ke keenam. Ada eloknya baca cepat judul “olahkata
dikotomi golput 2019, melek politik vs cerdas ideologi”. Omong-omong. Kemuakan
rakyat yang selama ini terpinggirkan secara akurat. Membuat pilihan berganda.
Apa itu atau itu apa.
Faktor pengalaman akan menentukan pilihan pasangan capresdan cawapres.
Asumsi nalar, capres 01 dimungkinkan akan mendulang suara rata-rata nasional di
atas kuota menang. Kehendak anak bangsa berstatus milenial terjadi regenerasi.
Oleh karena itu cawapres 02 akan menjadi pilihan utama.
Seterusnya terserah keresahan pembaca. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar