Halaman

Selasa, 30 April 2019

manusia politik Nusantara, menyimpan dendam menyimpang


manusia politik Nusantara, menyimpan dendam menyimpang
Status politik di era dunia tanpa batas jarak dan tiada beda waktu. Pasal yang berkaitan dengan sistem stratifikasi politik yang berlaku antara kawanan manusia politik menjadi solidaritas semu. Alat-alat yang menjadi simbul fungsi politik adalah kursi. Bukan mahkota.

Lambang  ‘kursi’ secara tersamar menjadi logo perusahaan keluarga, industri keluarga bernama partai politik. Kursi sebagai bentuk légitimasi atau modal simbolik. Jauh dari manfaat atau moto ‘sekedar bertahan duduk’.

Modal simbolik yaitu modal yang mengacu kepada derajad akumulasi elektabilitasa dan popularitas. Bukan pada kadar ideologi. Sepanjang perkembangan sejarah politik Nusantara. Konflik kepentingan menjadi karakter pesta demokrasi. Kontestasi antar kawanan manusia politik maupun konflik internal partai politik. Sekedar memperebutkan ‘kursi’.

Kursi menjadi pratanda kekuasaan simbolik ataupun kekuasaan objektif. Kekuasaan simbolik, manusia politik cenderung mengejar kekuasaan untuk mendapatkan légitimasi.  Kekuasaan  objektif, manusia politik harus menghadapi tekanan ideologi yang lebih kuat. Atau malah bertindak sebagai per-panjang tangan-an,  hegemoni, dominasi atau menyubordinasi ekspresi ideologi makro.

Nilai dasar yang berhubungan dengan sesama pendukung, pesaing atau pasal politik adalah kepentingan. Adanya akulturasi antara politik mancanegara dan kebudayaan lokal di Nusantara menciptakan sebuah tradisi, misalnya tradisi pesta demokrasi.

Disimak pada wujudnya, tradisi pesta demokrasi termasuk ke dalam sistem bancakan dan arisan politik.  Bukan karena pola tindakan tak mengacu pada pranata sosial masyarakat. Sudah dari nun jauh dari sono-nya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar