manusia politik
Nusantara, menyimpan dendam menyimpang
Status politik di era dunia tanpa batas jarak dan tiada beda waktu. Pasal yang
berkaitan dengan sistem stratifikasi politik yang berlaku antara kawanan
manusia politik menjadi solidaritas semu. Alat-alat yang menjadi simbul fungsi
politik adalah kursi. Bukan mahkota.
Lambang ‘kursi’ secara tersamar
menjadi logo perusahaan keluarga, industri keluarga bernama partai politik. Kursi
sebagai bentuk légitimasi atau modal simbolik. Jauh dari manfaat atau moto ‘sekedar
bertahan duduk’.
Modal simbolik yaitu modal yang mengacu kepada derajad akumulasi elektabilitasa
dan popularitas. Bukan pada kadar ideologi. Sepanjang perkembangan sejarah politik
Nusantara. Konflik kepentingan menjadi karakter pesta demokrasi. Kontestasi
antar kawanan manusia politik maupun konflik internal partai politik. Sekedar memperebutkan
‘kursi’.
Kursi menjadi pratanda kekuasaan simbolik ataupun kekuasaan objektif. Kekuasaan
simbolik, manusia politik cenderung mengejar kekuasaan untuk mendapatkan légitimasi.
Kekuasaan objektif, manusia politik harus menghadapi tekanan
ideologi yang lebih kuat. Atau malah bertindak sebagai per-panjang tangan-an, hegemoni, dominasi atau menyubordinasi
ekspresi ideologi makro.
Nilai dasar yang berhubungan dengan sesama pendukung, pesaing atau pasal
politik adalah kepentingan. Adanya akulturasi antara politik mancanegara dan
kebudayaan lokal di Nusantara menciptakan sebuah tradisi, misalnya tradisi pesta
demokrasi.
Disimak pada wujudnya, tradisi pesta demokrasi termasuk ke dalam sistem bancakan
dan arisan politik. Bukan karena pola
tindakan tak mengacu pada pranata sosial masyarakat. Sudah dari nun jauh dari sono-nya.
[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar