Halaman

Kamis, 25 April 2019

padamu penguasa kami menghamba

padamu penguasa kami menghamba
Campur aduk, campur baur di belanga nasional Nusantara. Antara yang kanan dan yang kiri, bernasib sama. Sama-sama berkubang di bawah tempurung politik Nusantara. Puncak karir manusia politik, menjadi elite parpol. Sebatas di partai nasional.

Penguasa parpol lokal kalah pamor dengan elite atau putra-putri asli daerah. Dinasti politik secara turun temurun menguasa tingkat kabupaten/kota. Malah bergerak dari desa dengan pemilihan kepala desa. Provinsi dengan strata tertentu, bisa di bawah satu kendali elit lokal.

Terdapatlah parpol nasional yang menjadi perpanjangan tangan pengusaha. Parpol boneka. Putra asli provinsi dijadikan figur. Memanfaatkan kesempatan dan peluang, nasib mengantarkannya menjadi bagian koalisi pro-penguasa. Tidak mengakar di lokalnya. Modal tampang tak kenal malu.

Gairah otonomi daerah bak kawah Candradimuka. Anomali eksistensi politik lokal seolah bukan turunan atau bagian integral politik nasional. Kebijakan parpol (politik nasional) sampai ambang daerah terdegradasi. Nilai tawar lokal lebih menentukan.

Kader partai yang merintis dari papan bawah, mulai dari “0” (nol) akan selalu kalah dengan elite lokal. Semacam pada pilkada serentak. Parpol sebatas kendaraan politik. Elektabilitas, popularitas anak bangsa tanpa latar belakang pengalaman politik. Mampu menembus bursa dan pasar kepala daerah.

Pertarungan antara elit parpol lokal yang bisa naik strata dengan politisi sipil, tampak sia-sia. Didukung tidak ada kejadian luiar biasa yang secara alami akan melahirkan tokoh dan atau pemimpin nasional.

Pilpres 2014 dan 2019, sebagai bukti meringankan adanya tiadanya pengkaderan. Efek domino negara multipartai yang sejalan sebagai penyandang negara sedang, masih, akan selalu berkembang. Petugas partai merangkap perpanjangan tangan manusia ekonomi multinasional, semiglobal. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar