padamu penguasa
kami menghamba
Campur aduk, campur baur di belanga nasional Nusantara. Antara yang kanan
dan yang kiri, bernasib sama. Sama-sama berkubang di bawah tempurung politik
Nusantara. Puncak karir manusia politik, menjadi elite parpol. Sebatas di
partai nasional.
Penguasa parpol lokal kalah pamor dengan elite atau putra-putri asli daerah.
Dinasti politik secara turun temurun menguasa tingkat kabupaten/kota. Malah bergerak
dari desa dengan pemilihan kepala desa. Provinsi dengan strata tertentu, bisa
di bawah satu kendali elit lokal.
Terdapatlah parpol nasional yang menjadi perpanjangan tangan pengusaha. Parpol
boneka. Putra asli provinsi dijadikan figur. Memanfaatkan kesempatan dan
peluang, nasib mengantarkannya menjadi bagian koalisi pro-penguasa. Tidak mengakar
di lokalnya. Modal tampang tak kenal malu.
Gairah otonomi daerah bak kawah Candradimuka. Anomali eksistensi politik
lokal seolah bukan turunan atau bagian integral politik nasional. Kebijakan parpol
(politik nasional) sampai ambang daerah terdegradasi. Nilai tawar lokal lebih
menentukan.
Kader partai yang merintis dari papan bawah, mulai dari “0” (nol) akan
selalu kalah dengan elite lokal. Semacam pada pilkada serentak. Parpol sebatas
kendaraan politik. Elektabilitas, popularitas anak bangsa tanpa latar belakang
pengalaman politik. Mampu menembus bursa dan pasar kepala daerah.
Pertarungan antara elit parpol lokal yang bisa naik strata dengan politisi
sipil, tampak sia-sia. Didukung tidak ada kejadian luiar biasa yang secara
alami akan melahirkan tokoh dan atau pemimpin nasional.
Pilpres 2014 dan 2019, sebagai bukti meringankan adanya tiadanya
pengkaderan. Efek domino negara multipartai yang sejalan sebagai penyandang
negara sedang, masih, akan selalu berkembang. Petugas partai merangkap
perpanjangan tangan manusia ekonomi multinasional, semiglobal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar