bangsa yang disegani mbokdé mukiyo, dudu diregani wani
piro
Sebetulnya hanya kejadian biasa-biasa saja. Standar, umum,
lumrah dan begitulah adanya. Hanya karena pelakunya tidak biasa, bukan orang
biasa. Bukan hal sewajarnya. Dipoles oleh awak media. Menjadi kejadian luar
biasa.
Sepiring nasi putih kemebul dengan lauk standar rakyat. Nikmat
di lidah dan mata. Belum ludes, sudah minta tanduk. Menambah harmonisasi
suasana kebangsaan. Sang penikmat jelas kasta dan posturnya. Nyaris dinamis,
karena ada yang beli lauk saja. Atau tolong dibungkuskan nasi lima ribu rupiah,
sambil berbisik.
Akhirnya warung demikian menjadi alternatif bagi keluarga
yang lupa masak. Mulai sarapan hingga pulang malam mampir. Suasana terbangun
membuat betah yang punya waktu luang. Diskusi ringan atau pura-puranya jadi
pengamat harga bahan baku lauk.
Faktor lokasi tidak menentukan. Asal bisa parkir motor. Dekat
dengan warung serba ada.
Tak perlu ditebak, komunitas daerah model warung makan
ini. Menu rakyat sebagai andalan dan daya tarik. Harga terjangkau petugas
kebersihan antar bak sampah rumah tangga.
Meningkat berapa lapis. Rumah makan namanya. Masih klas
papan bawah. Beda lauk. Ciri utama bukan pada cepat saji. Agar tampak berklas,
bangunan dibuat permanen. Pasang papa nama. Parkir mobil menjadi nilai jual.
Namanya urusan perut. Saat rapat orang kantoran, menu
rakyat disajikan dalam kemasan bergengsi. Bisa menjadi oleh-oleh. Tidak malu
menentengnya. Malah bangga.
Namun, ketika yang ‘kelaparan dan atau kehausan’ bukan
orang biasa. Daya belanjanya jauh di atas rata-rata nasional. Bukan main
borong. Malah mau jual ‘nasi komplit’ dengan bangunannya.
Jadi. Demikianlah olahkata siang ini. 1:12 pm. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar