kondisi aktual rakyat vs rekayasa prosedural pesta
demokrasi
Penduduk miskin, rakyat melarat, masyarakat kurang
beruntung, keluarga pra-sejahtera, warga negara termarginalkan, rumah tangga
tidak layak hidup kaya, atau kemiskinan itu sendiri. Didaulat secara politis sebagai
ketidakmampuan, ketidakberdayaan dari aspek ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
dasar pangan dan non-pangan. Diukur dari kocék pengeluaran, daya belanja
harian.
Kemiskinan anak bangsa pribumi, tidak menjadikan diri
memakai asas pilitik luar negeri, gali utang tutup utang. Tidak ada yang bisa
dijadikan agunan, jaminan. Cuma utang rokok ke warung rakyat. Atau pinjam beras
ke tetangga akrab.
Klaim, asumsi maupun asas praduga atas hasil kajian,
survei, sensus, studi banding. Semula dikhawatirkan bangunan politik,
konsolidasi demokrasi, struktur ideologi Nusantara maupun pasal bernegara, tak akan
mampu tegak di atas generasi senin-kamis dimaksud.
Bahan galian sila-sila Pancasila, diangkat dari perikehidupan
nyata rakyat. Menu harian rakyat dalam praktik bermasyarakat. Adab interaksi,
interelasi, integrasi sosial yang tak ditentukan teritorial dan batas wilayah
administrasi.
Jangan bilang-bilang. Ojo kondo-kondo. Justru yang tuna cerdas ideologi, miskin melek politik
adalah kawanan manusia politik. Tapi mereka punya ilmu lain. Di dapat dari
praktik atau ilmu keturunan sesuai aliran darah.
Survei atau penyidikan, penyelidikan dengan seksama atas
efektivitas, kemanfaatan, efek domino pilkada. Apalagi pilkara. Hanya sebatas
bahan rapat evaluasi kinerja penguasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar