olok-olok politik
memperkaya pasal penyakit politik
Nusantara
Adalah fakta terang benderang di periode pemerintah
2014-2019. Bukan model survei klaim dan asumsi historis. Bermula dari larangan
menyatakan ujaran kebencian dari pihak Polri. Celah, peluang bagi penyelenggara
negara, sebut saja gubernur aktif ibu kota NKRI, merasa bebas cetak pendapat, berujar
yang masuk kategori penistaan agama.
Tahun politik 2018 dan 2019. Tindak aksi masif propaganda,
promosi, provokasi penguasa yang melahirkan modus olok-olok politik. Tak mau
kalah cuap, petugas partai dengan cerdas mengggunakan ujaran pakai langgam
Jawa: ‘sontoloyo’.
Jadi, apa pun kadar beritanya, ternyata hoaks merupakan produk resmi, produk unggulan pihak yang
menguasai media berbasis TIK, ITE dsb. Model pencitraan dengan mengulang-ulang
kisah sukses atau menayang ulang berita pembenaran.
Di atas kertas, loyalitas kawanan penguasa jauh- di atas ambang
atau batas normal. Bisa-bisa bisa tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Modal
ujung jari, merasa menjadi bagian penting dari penguasa. Saking cerdasnya,
sampai mereka sendiri tak tahu apa yang telah diujarkan dan atau acap ditayangkan
di media sosial dalam bentuk coretan, igauan.
Tidak perlu kecil hati. Tukang atau peolok-olok politik
memang masuk gén, spésiés manusia bebal. Apapun gaya pikir, tingkah dan aksi tindak
tutur tidak bisa dipidana. Dilindungi dan dipelihara oleh negara atas nama HAM.
[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar