Halaman

Senin, 08 April 2019

olok-olok politik memperkaya pasal penyakit politik Nusantara


olok-olok politik memperkaya pasal penyakit politik Nusantara

Adalah fakta terang benderang di periode pemerintah 2014-2019. Bukan model survei klaim dan asumsi historis. Bermula dari larangan menyatakan ujaran kebencian dari pihak Polri. Celah, peluang bagi penyelenggara negara, sebut saja gubernur aktif ibu kota NKRI, merasa bebas cetak pendapat, berujar yang masuk kategori penistaan agama.

Tahun politik 2018 dan 2019. Tindak aksi masif propaganda, promosi, provokasi penguasa yang melahirkan modus olok-olok politik. Tak mau kalah cuap, petugas partai dengan cerdas mengggunakan ujaran pakai langgam Jawa: ‘sontoloyo’.

Jadi, apa pun kadar beritanya, ternyata hoaks merupakan produk resmi, produk unggulan pihak yang menguasai media berbasis TIK, ITE dsb. Model pencitraan dengan mengulang-ulang kisah sukses atau menayang ulang berita pembenaran.

Di atas kertas, loyalitas kawanan penguasa jauh- di atas ambang atau batas normal. Bisa-bisa bisa tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Modal ujung jari, merasa menjadi bagian penting dari penguasa. Saking cerdasnya, sampai mereka sendiri tak tahu apa yang telah diujarkan dan atau acap ditayangkan di media sosial dalam bentuk coretan, igauan.

Tidak perlu kecil hati. Tukang atau peolok-olok politik memang masuk gén, spésiés manusia bebal. Apapun gaya pikir, tingkah dan aksi tindak tutur tidak bisa dipidana. Dilindungi dan dipelihara oleh negara atas nama HAM. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar