dedikasi sandal
bocorku
Sandal model selop, bagian depan tertutup. Ujung jari terlindung dari
sandungan, benturan. Beda jauh dengan sandal jepit. Sudah berapa tahun setia
kuinjak, kupijak, kuajak jalan cepat. Inap di hotel, tetap kubawa. Agar pagi
hari bisa sebagai teman jalan jaga stabilitas jiwa raga.
Alasan anatomis tubuh. Posisi tidur
seimbang. Jangan didominasi terlentang ataupun miring. Tengkurap pastilah
tidak. Memancing atau tak sesuai dengan asmaku. Apa hubungannya dengan gaya
kaki. Nyatanya, sol bawah tumit kiri, bagian kiri cepat aus. Membuat lubang. Pas
injak kerikil, liwat genangan air, terasa.
Biaya ganti sol nyaris sama beli baru. Sejauh ini model selop sudah mulai
langka. Produk negara lain, beda model. Bahan karet kenyal, tahan panas jalan
aspal. Bisa dicuci agar ceria. Salah. Model selop tetap ada, cuma nomor 43 yang
jarang diproduk massal. Sepi peminat.
Sudah berapa ratus km jam terbangnya maupun berapa ratus jam rekam
jejaknya. Anak nomor dua, pernah membelikan alat ukur jarak tempuh digital. Digital
langkah. 5 digit. Satu langkahku sejauh 0,6 mt. Beberapa kembali ke angka nol. Sampai
baterai habis.
Fakta lain, sekedar diketahui. Ukuran kakiku seolah berkorelasi dengan
ukuran kepala. Di atas rata-rata anak bangsa Nusantara. Minimal yang sezaman. Masuk
usia bonus dan bonus demografi non-produktif. Bersyukur, BB dengan 170cm,
ideal. Lingkar perut masuk kategori perut ksatria. Lingkar dada, padat kekar
tanda jiwa bugar.
Akhir kata. Masih bisa push-up 27-30x dengan nafas santai. Tulang belikat
kiri sudah kirim sinyal. Jalan cepat nonstop >1 jam. Seolah tanpa keringat. Tahan
nafas belum tembus 100 detik. Masih sesuai dengan angka usia.
Sambil sibuk dengan laptop. Sandal tetap setia di kaki sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar