Halaman

Senin, 29 April 2019

Kursi Sebuah Setara Berjuta Duka


Kursi Sebuah Setara Berjuta Duka
Secara politik, anak bangsa pribumi asli Nusantara ternyata tak ada korelasi positif dengan efek negara multipartai. Aneka parpol bukan gambaran seutuhnya sadar politik manusia politik. Hak politik rakyat, hanya diwujudkan sebagai kewajiban menggunakan hak pilih.

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Setidaknya ada 12 ancaman bencana yang dikelompokkan dalam bencana geologi (gempabumi, tsunami, gunungapi, gerakan tanah/tanah longsor), bencana hidrometeorologi (banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kebakaran hutan dan lahan), dan bencana antropogenik (epidemik wabah penyakit dan gagal teknologi atau kecelakaan industri). Sumber : buku renas pb 2015-2019, BNPB.

Pada 5 (lima) tahun mendatang, bencana semakin meningkat dengan adanya permasalahan : fenomena geologi yang semakin dinamis, perubahan iklim yang semakin ekstrim, peningkatan degradasi lingkungan, bonus demografi yang tidak terkelola dengan baik.

Penyakit politik bawaan zaman penjajah VOC, Belanda belum akan berhenti. Sampai mayoritas anak bangsa Nusantara ganti akidah. Bencana politik mengacu budaya politik, menjadi agenda senyap terselubung konspirasi global, skenario makro.

Formulasi politik Nusantara. Mensejahterakan bangsa dan masyarakat Nusantara dimulai dari manusia politik. Multipartai menjadikan alasan konstituisional memperpanjang antrian, memperbanyak kursi. Sekaligus memperlama kontrak politik.

Agar tak terjadi estafet kepemimpinan nasional. Dibangun mental generasi tangguh bencana politik. Syarat administrasi ahli olok-olok politik.

Perkembangan Indonesia sebagai tujuan investasi global. Menjadikan Indonesia ramah investor. Investor ‘tak diundang’ karena sudah lama bercokol di politk lokal. Investor politik maupun olahkata “Siap Tampung TKA Bebas Visa Kunjungan Kerja dari 169 Negara”.

Efek terukur dari kerapan, intensitas arus keluar masuk manusia (TKA,  wisatawan mancanegara, dan sebangsanya) berpotensi meningkatkan kejadian epidemi dan wabah penyakit seperti HIV/AIDS, Ebola, MERS, H5N1/Flu Burung. Laju  pembiakan industri dan derap pembangunan juga kian memancing potensi bencana terkait antropogenik.

Loncat ke fakta satu kendali. Kejadian tidak luar biasa bisa berupa karhutla (kebakaran hutan dan lahan) bukan bencana alam. Faktor penyebab didominasi oleh ulah tangan manusia (baca manusia pengusaha) dengan pola sengaja tanpa rencana,  lalai akibat lelah jiwa, pembiaran karena beda pilihan.

Bencana gagal teknologi merupakan jenis kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian, dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi.

Menurut UNISDR (United Nation of International Strategies for Disaster Reduction), gagal teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Kegagalan teknologi dapat menyebabkan pencemaran (udara, air, dan tanah), korban jiwa, kerusakan bangunan, dan kerusakan lainnya. Bencana gagal teknologi pada skala yang besar akan dapat mengancam kestabilan ekologi secara global.

Jangan risau, galau, resah, cemas, bimbang, gelisah, khawatir, ragu kalau anak bangsa pribumi Nusantara tulen gagap teknologi. Khususnya gamang teknologi informasi dan komunikasi. Generasi peolok-olok politik sekedar bukti ringan, betapa.

Jadi, kursi digital menjadi berhala resmi pemerintah. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar